Makalah Hukum dan Pembagian Waris Anak Zina

Dalam pokok hukum islam sebab waris-mewarisi adalah karena hubungan perkawinan dan hubungan nasab. Seorang suami-istri dapat waris-mewarisi karena keduanya terikat oleh perkawinan yang dibenarkan oleh hukum islam, sebagai hak yang diperoleh karena perkawinan tersebut. Hubungan nasab seorang anak dan seorang ayah dalam hukum islamukan oleh sah dan tidaknyahubungan perkawinan anrata seseorang laki-laki dan wanita, sehingga menghasilkan anak itu disamping ada atau tidaknya pengakuan ayah terhadap anak tersebut.[1] Kalau hubungan nasab ayah dan anak tersebut sah maka antara ayah dan anak dapat waris-mewarisi. Ada dua hubungan anak dan ayah yang tidak diakui secara hukum, ialah:
Anak zina.
Pengertian Anak zina menurut buku ilmu fiqh karangan Drs. H. Asmuni A. Raham ialah anak yang dilahirkan karena hubungan seseorang laki-laki dengan wanita tanpa nikah. Anak yang lahir tanpa nikah tersebut disebut walad ghoiru syar’i,dan orang laki-laki yang menimbulkan kandungan tersebut ab ghoiru syar’i.[2]
Anak ghoiru syar’i atau anak zina tadi tidak ada hubungan darah dengan ab ghoiru syar’i menurut hukum, karenanya tidak ada hubungan waris-mewarisi. Anak tersebut hanya berhubungan darah dengan ibu dan antara keduanya dapat waris-mewarisi. Demikian pula anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan krabat ibunya, yang berarti juga mempunyai hubungan ahli waris. Dalam pelaksanaan pembagian warisan pada anak tersebut ialah seperti apabila seseorang wanita meninggal  dunia dan meninggalkan ahli waris:
a.       Seorang suami, yaitu A.
b.      Dua anak laki-laki, yaitu B dan C.
c.       Seorang anak laki-laki (anak zina), D.
Maka pembagiannya ialah sebagai berikut:
Suami mendpat ¼ bagian, sedangkan 2 anak sebagai ashobah bersama-sama dengan seorang  anak laki-laki yang mendapat kwalifikasi anak zina tersebut. Asal masalah 4, atau 24, maka bagian mereka masing-masing seperti berikut ini:
A mendapat ¼ X 4 = 1 atau ¼ X 24=6.
B, C dan D semuanya mendapat ¾ atau 3/24, yang masing-masing mepunyai bagian yang sama, sehingga:
B=  ¼ X 4 = 1 atau ¼ X 24= 6
C=  ¼ X 4 = 1 atau ¼ X 24= 6
D=  ¼ X 4 = 1 atau ¼ X 24= 6[3]
Pengertian anak zina menurut buku fiqh mawaris karangan Drs. Ahmad Rofiq, M.A. ialah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah menurut ketentuan agama. Pengertian ini dengan sangat tegas menyatakan bahwa yang menjadi ukuran adalah hukum agama. Maksudnya, harus dibedakan misalnyaseorang perempuan tidak pernah diketahui melangsungkan akad nikah, ternyata tiba-tiba hamil. Untuk kepentingan formal yuridis-supaya bayi yang akan lahir mempunyai “bapak” formal-dicarikan calon bapak untuk sibayi. Dalam contoh tersebut, seseorang perlu berhati-hati menetapkan hukum nikah tersebut. Sebagian ulama berpendapat akad nikah tersebut tidak sah, kecuali apabila pernikahan itu dengan pelaku zina. Meskipun demikian akibat hukumnya, si anak tetap tidak bisa dinasabkan pada bapaknya.
Mayoritas ulama membolehkan pernikahan antara pezina dengan orang lain yang bukan pezinanya. Perbedaan pendapat ini muncul karena perbedaaan dalam memahami firman Allah yang artinya sebagai berikut:
 “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”.(QS. Al-Nur:3).
Menurut ibnu Rusyd dalam buku fiqh mawaris ialah Ulama yang memahami ayat diatas merupakan isyarat kepada nikah, maka perkawinan wanita hamil karena zina tidak sah. Mayoritas ulama memandang perkawinan semacam ini tidak pantas dilakukan orang beriman.[4]
Pada umumnya, akad akad nikah untuk dicarikan “bapak” tersebut dapat ditolerir masyarakat. Namun demikian status hukum bayi yang lahir akibat perzinaan, tidak bisa dinasabkan kepada bapaknya. Para ulama sepakat bahwa bayi yang lahir kurang dari 6 bulan terhitung dari akad nikah dilangsungkan, tidak dinasabkan kepada bapaknya. Bahkan para ulama Syi’ah menegaskan bahwa anak zina, selain tidak dinasabkan pada bapaknya, juga tidak bisa dinasabkan kepada ibunya. Ini dimaksudkan agar setiap orang hati-hati dalam menjaga diri dan kehormatan diri dan keturunannya.
Fatchur Rachaman mengemukakan perbedaan pendapat Ulama, apakah tenggang waktu 6 bulan itu dihitung dari akad nikah atau sejak terjadinya hubungan suami-isteri.
  • Pertama, Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat jika seorang laki-laki mengawini wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah, dalam waktu kurang dari 6 bulan kemudian wanita tersebut melahirkan anak setelah 6 bulan dari akad perkawinannya, bukan dari masa berkumpulnya, maka anak yang dilahirkan itu tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang menyebabkan mengandung . yang menjadi batasan adalah nikahnya, bukan perbuatan zinanya. Bisa saja secara biologis-misalnya melalui tes darah-adalah bapaknya, tetapi secara hukum tidak bisa dibenarkan.
  • Kedua, imam hanafi berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap dianggap berada dalam ranjang suaminya. Karena itu anak yang dilahirkan dapat dipertalikan nasabnya kepada ayah (pezina)nya sebagai anak sah. Dasar hukum yang digunakan adalah petunjuk umum sabda Rasulullah SAW:
اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ (رواه الخمسة)
“anak itu dinasabkan kepada orang yang seranjang tidur”(Riwayat lima orang ahli hadis)
Tampaknya, pendapat imam malik dan imam Syafi’i lebih tepat dalam konteks pemahaman ke-Indonesiaan. Sebagai bangsa timur yang bercorak religius, nilai-nilai etika dan moral menjadi sangat penting diaplikasikan. Oleh karena itu, dengan mengambil ketegasan hukum diatas diharapkan kita lebih berhati-hati agar tidak terjebak dengan kenikmatan sesaat yang mebawa sengsara berkepanjangan, terutama bagi si anak.
Dari penjelasan diatas dapat ditegaskan bahwa menurut mayoritas ulama, anak zina tidak bisa mewarisi ayahnya, karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab diatara mereka. Anak zina hanya bisa mewarisi harta ibunya, begitu jga sebaliknya, ibunya dan saudara-saudarnya yang seibu, yang bisa mewarisi harta peninggalannya.[5]



                [1] Asmuni A. Rahman dkk, dan Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu fiqh 3 (jakatra: CV. Yuliana, cet 1 thn 1986). Hal 159.
                [2] Ibid.
                [3] Ibid.
                [4] Ahmad Rofiq, fiqh mawaris (jakarta: PT RajaGrafindo persada cet ke 2, 1995), hal. 128
                [5] Ibid, Hal. 129

Related Posts :

0 Response to "Makalah Hukum dan Pembagian Waris Anak Zina"

Posting Komentar