Makalah Waris Anak Li'an

Anak li’an ialah anak yang lahir dari seorang ibu yang dituduh zina (melakukan perbuatan zina) oleh suaminya, dan anak yang lahir itupun dinyatakan anak hasil perbuatan zina itu. Pernyataan itu dilakukan saling sumpah antara ibu dan anak li’an tersebut dengan suaminya yang berakibat putusnya hubungan suami istri itu dan haram untuk selama-lamanya melakukan rujuk atau pernikahan kembali. Akibat lain ialah tidak ditetapkannya anak tersebut sebagai anak laki-laki yang melakukan mula’anah itu, tetapi anak ibu yang melahirkannya.[1]
Pasal 162 Dalam kompilasi hukum islam di indonesia menyebutkan “bilamana li’an terjadi, maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah”. sebuah hadis menerangkan;
اِنَّ رَجُلاً لاَعَنَ امْرَأَتَهُ وَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا فَفَرَّقَ رَسُوْلاللّهِ صَلَّى اللهِ  عَلَيْهِ وَسَلّم بَيْنَهُمَا وَاَلْحَقَ وَلَدَهَا بِالْمَرْأَةِ (رواه الجاعة عن ابن عمر)
Artinya: bahwa seorang laki-laki meli’an istrinya dan tidak mengakui anaknya, maka Rasulullah SAW menceraikan antara keduanya dan mengikutkan nasab anaknya kepada ibunya. (H.R  jama’ah dari ibnu ‘Umar)
Peristiwa demikian, menurut hukum islam ialah apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina dan tidak dapat mendatangkan  saksi karena nya suami mendapat hukuman dera 80 kali, karena melukas (menuduh orang berbuat zina tanpa saksi). Ia bebas dari hukuman kalau suami itu berani sumpah li’an, yakni melakukan sumpah 4 kalidihadapan hakim yang intinya  berisi “saya bersaksi bahwa saya adalah orang yang benar tuduhannya” kemudian yang ke 5 menyatakan “kutukan tuhan atasku, bila aku dari orang yang berdusta terhadap tuduhan”. Istri yang dituduh, dapat dikenai hukuman zina; tetapi ia dapat bebas dari tuduhan itu apabila ia mengucapkan sumpah 4 kali, yang isinya “saya bersaksi pada Allah bahwa  ia (suaminya yang menuduh itu) adalah orang yang berdusta terhadap tuduhannya itu ” selanjutnya yang kelimanya “kemurkaan Allah atas dirinya bila suaminya adalah orang yang benar tuduhannya”.
Mengenai mula’anah ini tersebut pada ayat 7,8 dan 9 surat an-Nur, sebagaimana yang diterangkan dimuka bahwa anak yang lahir bukanlah anak dari ayah yang melakukan mula’anah tetapi anak itu anak ibu yang melahirkannya. Maka dalam masalah waris , jelas bahwa ia tidak mendapat kan warisan  dari ayah tersebut, dan sebaliknya juga tidak mewariskan hartanya kepadanya apabila ia mati mendahuluinya. Tetapi ia mewarisi harta ibunya dan hartanya-pun dapat diwarisi oleh ibunya itu. Pada kedudukan anak li’an, sama dengan kedudukan anak zina.[2]
Persoalan yang timbul, bagaimanakah apabila anak zina atau anak li’an tersebut berkedudukan sebagai si mati. Para Ulama berbeda [endapat dalam masalah ini. Para sahabat besar seperti ‘Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas’ud menempatkan ibu dari anak zina atau anak li’an sebagai ahli waris tungggal, sebagai ashab al-furud dan Ashobah sekaligus. Karena didalam kenyataannya, sejak li’an itu terjadi-hubungan hubungan perkawinan menjadi putus selamanya (ba’in)-praktis ibu bertindak sebagai ibu dan bapak sekaligus. Fungsi demikian sejalaan dengan sabda nabi SAW:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَرْأَةُ تَحُوْزُ ثَلاَثَةَ اَمْوَالِ عَتِيْقَهَا وَلَقِيْطَهَا وَوَلَدَهَا الَّذِى لاَ عَنَتْ عَلَيْهِ (رواه ابوداوود)
Artinya: “Nabi SAW bersabda: wanita itu dapat memperoleh tiga macam harta, harta peninggalan budaknya yang telah di bebaskan, harta peninggalan anak pungutnya, dan harta peninggalan anak li’annya”(Riwayat Abu Daud).
Para ulama madinah, termasuk didalamnya Zaid ibn Sabit menyatakan bahwa harta peninggalan anak zina dan anak li’an dapat diwarisii sebagaimana anak lainnya. Yaitu berdasarkan ketentuan Furud Muqaddarah. Ibu menerima 1/6, jika ada saudara-saudara seibu  menerima 1/3 dan sisanya diserahkan ke bait al-Mal. Pendapat ini kemudian diikuti oleh imam malik, Imam Syafi’i dan Abu hanifah. Yang terakhir ini menentukan persyaratan, apabila ada ahli waris zawu al-arham, mereka harus didahulukan, daripada disetorkan ke bait al-mal, jadi menurut madzhab ini, ibu tidak berperan sebagai ahli waris penerima ‘ashobah.
Contohnya, seorang wanita meninggal, ahli warisnya terdiri dari: nenek, anak perempuan (tidak sah), dan cucu perempuan garis perempuan. Harta warisan Rp. 12.000.000,- bagian masing-masing adalah:
Menurut imam malik dan syafi’i:
Asal masalah 6
Ahli waris
Furud
Saham
Penerimaan
Nenek
1/6
X 6=  1
1 X Rp. 12.000.000
6 =  Rp. 2.000.000
Anak perempuan 2n’li’
½
X 6= 3
3 X Rp.12.000.000
6 = Rp.6.000.000
Cucu perempuan
-
-
-


Jumlah
= Rp. 8.000.000

Menurut imam hanafi:
Ahli waris
Furud
Saham
Penerimaan
Nenek
1/6
X 6=  1
1 X Rp. 12.000.000
6 =  Rp. 2.000.000
Anak perempuan 2n’li’
½
X 6= 3
3 X Rp.12.000.000
6 = Rp.6.000.000
Cucu perempuan
‘as
(6-4=2) 2
2 X Rp.12.000.000
6 = Rp.4.000.000


Jumlah
= Rp. 12.000.000
Sisa yang seharusnya diserahkan ke bait al-Mal menurut pendapat imam malik dan Syafi’i, diserahkan kepada cucu perempuan yang garis perempuan (dzawu al-arham) menurut imam hanafi.
Contoh kedua, seorang laki-laki meninggal ahli warisnya bapak dan anak tidak sah. Harta warisan Rp 1.000.000,- penyelesaiannya adalah:
Asal masalah 1
Ahli waris
Furud
Saham
Penerimaan
Bapak
‘as
X 1=  1
1 X Rp. 1.000.000
1 =  Rp. 1.000.000
Anak zina
-
-
-


Jumlah
= Rp. 1.000.000
Anak zina (bukan anak sah, tidak dapat mewarisi).[3]



                [1] Asmuni A. Rahman Op. Cit, .hal 161
                [2] Asmuni A. Rahman hal. Op.Cit., hal. 162
                [3]Ahmad Rofiq, Op. Cit., hal. 132-134

Related Posts :

0 Response to "Makalah Waris Anak Li'an"

Posting Komentar