Pemerintahan di Masa Nabi Negara Madinah

Kalau mau disebut bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW sudah ada Negara dan pemerintahan Islam, maka pandangan demikian tertuju pada masa beliau sejak menetap dikota yatsrib. Kota ini kemudian berganti nama menjadi Madinat al-Nabi, dan populer dengan sebutan Madinah. Negara dan pemerintahan yang  pertama dalam sejarah Islam itu terkenal dengan Madinah. Kajian terhadap Negara dan pemerintahan ini dapat diamati dengan menggunkan dua pendekatan. Pertama, pendekatan  normatif islam yang menekankan pada pelacakan nash-nash Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang mengisuyartkan adanya praktek pemerintahan yang dilakukan oleh nabi dalam rangka siyasah sar’iyah. Kedua, pendekatan deskriptif historis  dengan mengidentikkan tugas-tugas yang dilakukan oleh Nabi dibidang muamalah sebagai tugas-tugas Negara dan pemerintahan. Hal ini diukur dari sudut  pandangan teori-teori politik dan ketatanegaraan.  
Terbentuknya Negara Madinah, akibat dari perkembangan penganut islam yang menjelma menjadi kelompok sosial dan memiliki kekuatan politik rill pada pasca periode makkah dibawah pimpinan Nabi. Pada periode makkah yang pengikutnya relatif kecil belum menjadi komunitas yang mempunayi daerah kekuasaan dan berdaulat. Mereka merupakan golongan minoritas yang lemah dan tertindas, sehingga tidak mampu tampi menjadi kelompok sosial penekan terhadap  kelompok sesial mayoritas kota itu yang berada dibawah kekuasaan aristocrat Quraisy, yang masyarakatnya homogeny. Tapi setelah dimadinah, posisi nabi dan umatnya mengalami perubahn besar. Dikota itu, “mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baaru dibentuk itu dan yang akhirnya merupakan suatu Negara. Suatu Negara yang daerah yang kekuasaannya diakhir zaman nabi meliputi seluruh semenanjung Arabia. Dengan kata laim dimadinah nabi Muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat rasul tetapi juga mempunyai sifat kepala Negara. D.B. Macdonald juga menyatakan “disini, madinah, talah terbentuk Negara islam pertama dan telah lmeletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undngan islam. Dalam Negara madinah itu, kata Thomas .W. Arnold, “ dalam waktu yang bersamaan Nabi adalah sebagai pmimpin agama dan kepala Negara.”  Fazlur Rahman, toko Neo Modernisme Islam, juga membenarkan bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi itu meruakan suatu Negara dan pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu umat Muslim.
Perubahan besar yang dialami oleh nabi dan pengikutnya dari kelompok powerless (tanpa kekuasaan) menjadi suatu komunitas yang memiliki kekuasaan sosial politik ditandai dengan beberapa peristiwa penting. Pada tahun 621 dan 622 M berturut-turut memperoleh dukungan moral dan dukungan politik dari kelompok orang Arab (suku Aus dan suku Khazraj)  kota yatsrib yang menyatakan diri masuk islam. Peristiwai ini mempunyai keistimewaan tidak seperti halnya orang arab Mekkah masuk Islam. Karena disamping mereka menerima Islam sebagai agama dikenal dengan Baiat Aqabah pertama, mereka berikrar bahwa segala perbuatan jahat dan akan mentaati rasulallah dalam segala hal yang benar. Sedangkan pada baiat tahun 622 M dikenal Nabi sebagaimana melindungi keluarga mereka dan akan mentaati beliau sebagai pemimpin mereka. Nabi juga dalam kesempatan itu berjanji akan berjuang bersama mereka baik untuk berperang maupun untuk perdamaian.
 Peristiwa hijrah ke yatsrib beberapa bulan kemudian. Peristiwa ini direkam dalam wahyu, dan memuji mereka yang berhijrah. “Perisriwa ini dinilai oleh Arnold sebagai “suatu gerakan strategi yang jitu”. suatu gerakan yang menyelamatkan kaum muslimin agar terbebas dari tindakan sewenang-wenang kaum Qurais. Ia juga merupakan reaksi terhadap fakta sosial keadaan masyarakat arab mekkah yang mayoritas menolak islam, dan respon terhadap fakta sosial keadaan masyarakat arab madinah secara terbuka menerima seruan rasul kepada Islam.
Aktivitas yang sangat penting dan tugas yang dilakukan oleh Nabi setelah menetap dimadinah pada tahun pertama hijrah adalah membangun mesjid di Quba, dan menata kehidupan social politik masyarakat kota itu yangbercorak majemuk. Pembangunan masjid itu dari segi agama berfungsi sebagai tempat beribadah kepada Allah, sedangkan dari segi sosial berfungsi sebagai tempat mempererat hubungan dan ikatan jamaah Islam. Karena di samping tempat melaksanakan ibadah salat, masjid itu juga dijadikan oleh Rasulallah dan kaum muslimin sebagai tempat untuk mendalami ajaran Islam, pusat pengembangan kegiatan sosial budaya, pendidikan, tempat musyawarah, markas tentara dan sebagainya.
Langkah berikut Nabi adalah menata kehidupan sosial politik komunitas-komunitas di madinah. Yaitu komunitas Arab muslim dari Mekkah, komunitas Arab dan  Madinah dari suku Aus dan Khazraj yang muslim, komunitas Yahudi dan komunitas Arab yang peganis. Untuk ini Nabi menepuh dua cara. Pertama, menata interen kehidupan kaum muslimin, yaitu mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Ansar secara efektif. Persaudaraan ini bukan diikat oleh hubungan darah dan kabilah, melainkan atas dasar ikatan agama (iman). Inilah awal terbentuknya komunitas  Islam untuk pertama kali, yang menurut Hitti, merupakan “suatu miniature dunia Islam”. Kedua Nabi mempersatukan antara kaum muslimin dan kaum Yahudi bersama sekutu-sekutunya melalui perjanjian tertulis  yang terkenal dengan “Piagam Madinah”. Suatu perjanjian yang menetapkan persamaan hak dan kewajiban semua komunitas dalam kehidupan social dan politik. Berikut dikemukakan terjemahan naskah piagam selengkapnya;
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Ini adalah surat/ketetapan (perjanjian) dari Nabi Muhammad antara orang-orang beriman dan muslim yang berasal dari Quraisy dan Yatsrib serta yang mengikuti mereka dan menyusul mereka serta berjuang bersama-sama mereka. Mereka adalah umat yang satu dari golongan lain.
Kaum muhajirin bebas melaksanakan kebiasaan baik mereka dalam menerima atau membayar tebusan darah antara sesame mereka dan menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil antara sesame orang-orang beriman. Banu Auf juga tetap bebas mengikuti kebiasaan baik mereka yang berlaku, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudah-sudah. Setiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan baik dan adil diantara  sesama orang-orang beriman. Demikian juga Banu Harits, Banu Saida, Banu Jusyam, Banu Najar, Banu Amr bin Auf dan Banu nabit.
Orang-orang beriman tidak boleh membiarkan seseorang yang menanggung beban hidup keluarga dan beban utang yang berat diantara sesama mereka, mereka harus dibantu dengan cara yang baik dalam membayar tebusan atau membayar diat.
Orang beriman dan bartakwa tidak boleh mengikat janji dalam menghadapi mukmin lainnya, harus melawan orang yang melakukan kejahatan diantara mereka sendiri atau suka melakukan aniaya, kejahatan, permusuhan dan berbuat kerusakan diantara orang-orang beriman sendiri. Mereka semua harus bersama-sama melawannya sekalipun terhadap anak sendiri.
Bahwa orang-orang beriman tidak boleh saling membunuh lantaran orang kafir untuk melawan orang beriman. Jaminan Allah itu satu. Dia melindungi yang lemah diantara mareka. Orang beriman harus saling tolong-menolong satu sama lain. Barang siapa dari kalangan Yahudi yang menjadi pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan, dan tidak boleh menganiya atau melawan mereka.
Persetujuan orang-orang beriman satu. Tidak dibenarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian sendiri dengan meninggalkan mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah, tapi semua hrus mengambil bagian yang sama secara adil. Setiap orang  yang  berperang bersama kami satu sama lain harus  saling melindungi. Mereka harus saling  membela terhadap sesamanya  yang telah tewas di jalan Allah, dan mereka yang beriman dan bertakwa hendaklah berada dalam pimpinan yang baik dan lurus.
Sesungguhnya siapapun tidak boleh melindungi harta benda dan jiwa orang Quraisy dan tidak boleh merintangi orang beriman. Barang siapa membunuh orang beriman yang tidak bersalah dengan cukup bukti, maka harus mendapat balasan setimpal , kecuali keluarga si terbunuh sukarela menerima tebusan. Dan semua orang beriman harus menentangnya dan tidak di benarkan mereka hanya tinggal diam.
Bahwa setiap mukmin yang menyetujui isi shahifat ini dan beriman kepada Alllah dan hari akhir, tidak di benarkan  menolong pelaku kejahatan dan tidak pula membelanya maka sesungguhnya ia akan mendapat kutukan dan murka dari Allah di hari kiamat dan tidak ada suatu tebusan yang dapat diterima daripadanya.
Bahwa bila terjadi perbedaan pendapat diantara kamu tentang sesuatu maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan Muhammad SAW.
 Bahwa orang-orang Yahudi Bani Auf adalah umat yang satu bersama orang-oang mukmin, orang-orang Yahudi tetap berpegang pada agama mereka, orang-orang mukmin pun tetap berpegang pada agama mereka termasuk pendukung-pendukung mereka dan diri mereka sendiri kecuali orang yang berlaku zalim dan dosa, bahwa orang seperti ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri dan keluarganya. Demikian pula orang-orang Yahudi Bani  al-Najjar, Bani al-Harits, Bani Saidah, Bani Jusyam, Bani Aus, Bani Tsa’labah dan keluaganya jfnah, Bani Syutaibah, pemuka-pemuka tsa’labah, dan sekutu kaum yahudi diperlakukan sama seperti Bani Auf.
Bahwa tidak seorang pun dari mereka (penduduk Madinah) dibolehkan keluar kecuali dengan izin Nabi Muhammad SAW. Tapi seseorsng tidak boleh dihalangi menuntut haknya (balas) kaarena dilukai. Dan bahwa siapa yang melakukan kejahatan berarti ia melakukan kejahatan terhadap dirinya dan keluarganya, kecuali bila orang itu melakukan aniyaya. Sesungguhnya Allah memperhatikan ketentuan yang paling baik dalam hal ini. 
Bahwa orang-orang Yahudi harus menanggung belanja mereka sendiri, dan orang-orang mukmin harus mnanggung belanja mereka sendiri. Tapi di antara mereka harus ada kerja sama tolong menolong dalam menghadapi orang yang menyerang terhadap pemilik shahifat ini, dan baha diantara mereka handaklah nasehat-menasehati dan berbuat kebaikan tanpa dosa. Bahwa seorang tidak bertanggung jawab atau ikut memikul kesalahan orang lain, tapi ia harus menolong orang teraniaya. 
Bahwa orang-orang Yahudi  wajib mennggung biaya bersama orang-orang mukmin selama mereka dalam keadaan perang. Bahwa yatsrib  menjadi tempat suci bagi yang mengakui perjanjian ini.
Bahwa tetangga itu seperti diri sendiri, tidak boleh dimudarati dan direlakukan jahat. Bahwa suatu kehormatan tidak boleh dilindungi kecuali atas izin pemiliknya.
Bahwa bila antara orang-orang yang menyetujui  perjanjian ini terjadi suatu peristiwa atau perselisihan yang di khawatirkan menimbulkan bahaya, maka hendaklah di kembalikan kepada allah dan Muhammad Rasulalllah SAW. Sesungguhhnya Allah memperhatikan isi perjanjian ini dan melindunginya.
Bahwa tidak boleh diberikan perlindungan kepada kaum Quraisy dan orang yang menolongnya.
 Bahwa antara mereka harus saling membantu melawan orang yang mau menyerang Yatsrib. Apabila mereka (penyerang) diajak berdamai, lalu mereka memenuhi ajakan damai itu dan melaksanakannya, maka sesungguhnya mereka telah berdamai dan melaksanakannya (perdamaaian itu dianggap sah), dan bahwa bila mereka (orang-orang mukmin) iajak berdamai seperti itu maka orang-orang mukmin wajib mnerimanya kecuali terhadap orang-oorang yang memerangi agama. Setiap orang bekewajiban melaksanakan kewajiban sesuai fungsi dan tugasnya.
Sesungguhnya Yahudi Aus, seskutu-sekutu mereka dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti apa  yang terdapat bagi pemlik shahifat ini serta memperoleh perlakuan yang baik dari yang menyetujui perjanjian ini. Sesungguhnya kebaikan itu tidak boleh di campur aduk dengan kejahatan dan orang yang melakukannya akan memikul sendiri akibatnya.  Dan Allah  bersama pihak yang  benar dan patuh menjalankan isi perjanjian ini. Barang siapa yang keluar atau tinggal di kota Madinah ini, ia akan aman’ keselamatannya terjamin, kecuali orang yg berbuat aniaya dan melakukan kejahatan. Sesungguhnya Allah melindungi orang yang berbuat kebajikan dan bertakwa, dan Muhammmad Rasulallah SAW.
Setelah di teliti dan dikaji secara mendalam oleh penulis, naskah perjanjian tersebut mengandung beberapa perinsip yaittu;  prinsip orang-orang  muslim dan mukmin adalah  umat yang satu dan antara mereka dan non-muslim adalah juga umat yang satu (semua manusia adalah umat yang satu); prinsip persatuan dan persaudaraan; prinsip persamaan; prinsip kebebasan; prinsi tolong-menolong dan membela yang teraniaya; prinsip hidup bertetangga; prinsip keadilan; prinsip musyawarah; prinsip pelaksanaan hokum dan sanksi hokum; prinsip kebebasan beragama dan hubungan antr pemeluk agama (hubungan antar bangsa/internasional); prinsip pertahanan dan perdamaian; prinsip amar makruf dan nahi munkar; prinsip kepemimpinan; prinsip tanggung jawab pribadi dan kelompok; dan, prinsip ketakwaan dan ketaatan (disiplin).
Prinsip-prinsip tersebut sangat modern untuk masa itu. Bahkanuntuk dewasa inipun tetap relevan karena nilai-nilainya yanguniversal. Sebab prinsip-prinsip tersebut telah menjadi tuntutan berbagai bangsa di dunia agar tegak dalam hidup bermasyarakatdan bernegara, yaitu tatanan masyarakat yang demokratis, adil dan dmai. Maka amatlah tepat komentar Nurcholis Madjid berikut ini;
“bunyi naskah konstitusi itu sangat menarik. Ia mmuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjaun modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama,  hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan, dan umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar.”
Sedangkan mengapa naskah perjanjian ter sebut bisa terwujud, menurut Hitti, merupakan bukti kemampuan Muhammad SAW melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan berbagai kabilah dan kelompok social Madinah, sehingga beliau diakui oleh mereka sebagai pemimpin mereka. Penilaian ini berdasarkan  pada keberhasilan beliau mempersatukan kaum muslimin yang berasal dari berbagai kabilah  menjadi satu umat. Beliau juga mempersatukan kaum  kaum muslimin dan kaum Yahudi  menjadi satu umat dan menetapkan persamaan hak dan kewajiban mereka dalam masalah-masalah umum, social, dan politik.
 Dengan demikian, bukti-bukti historis dan karya nyata nabi tersebut, menunjukan bahwa beliau secara nyata dan arif menata hubungan manusia dan Tuhan, dan hubungan antara sesama manusia. Al-Qur’an menyebutnya hablun min Allah wa hablun min al-nas (Q.S Ali ‘Imran/3 : 112). Tujuan Nabi mengatur hablun min al-nas masyarakat Madinah adalah untuk menetralisir kekuasan kelompok-kelompok yang ada yang sering terjerumus kepada konflik,dan untuk membimbing mereka agar hidup dalam suasana kerja sama. Pada segi ini, dilihat dari ilmu politik, langkah Nabi ini menunjukan beliau telah melaksanakan kekuasan  seperti yang dimilimi oleh negera yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan politik yang dikuasai oleh Negara bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat, mengontrol dan menertibkan unsure-unsur atau gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Karena manusia disamping hidup dalam suasana kerjasama antaginistis, penuh konflik dan persaingan. Pengaturan hubungan-hubungan tersebut, walaupun ada unsur pemaksaan, adalah untuk menetapkan tujuan-tujua kehidupan bersama.
Oleh karena itu, Pickthal menilai kelahiran dan fungsi naskah perjanjian itu, menjadi bukti bahwa Nabi menampilkan diri sebagai sosok pemimpin untuk menetapkan dan mengatur kepentongan umum sebagai undang-undang Negara (the constitution of the state). Dan lahirnya piagam tersebut  sebagai pernyataan terbentuknya Negra Madinah. Sekalipun Nabi tidak pernah mengatakan bagwa beliau telah mendirikan Negara, dan tak satupun  ayat Al-Quran yang memerintahkan beliau agar mendirikan Negara. Tapi karena ajaran Islam memadukan ntara urusan agama dan dunia, diperlukan adanya lembaga dan pemimpin untuk melaksanaknnya. Dan Nabi telah mempraktekannya.
 Dikatakan  bahwa masyarakat yang di pimpin Nabi itu adalah Negara, karena ia, dari sudut ilmu politik, memenuhi syarat untuk disebut Negara. Syarat berdirinya Negara adalah adanya wilayah, penduduk dan perintahan yang berdaulat. Semua unsur ini terdapat dalam Negara Islam pertama itu. Wilayahnya adalah kota Madinah dan sekitarnya, rakyatnya terdiri dari unsur-unsr kaum Muhajirin, kaum Ansar, dan kaum Yahudiserta sekutunya yang menetap di kota madinah, dan pemerintahan yang berdaulat di pegang oleh nabi Muhammad dan di bantu oleh sahabatnya. Undang-undangnya berdasarkan Syariat Islam yang di wahyukan oleh Allah dan sunnah Rasul termasuk Piagam Madinah. Kepemimpinan Nabi selaku kepala Negara adalah untuk mengatur segala persoalan dan memikirkan kemaslahatan umat secara keseluruhan, dalam rangka pelaksanaan Siyasah syar’iyah.
Kapasitas Muhammad SAW sebagai kepala Negara dapat dibuktikan dengan tugas-tugas yang beliau lakukan sebagai termuat dalam berbagai literature. Beliau beliau membuat undang-undang dalam bentuk tertulis, mempersatukan penduduk Madinah yang bercorak hiterogen untuk mencegah timbulnya konflik-konfik  di antara mereka agarterjamin ketertiban interen.  Beliau mengadakan perjanjian damai dengan tetengga agar terjamin ketertiban eksteren, menjamin kebebasan bagi semua golongan,  mengorganisir militer dan memimpin peperangan, melaksanakan hokum bagi pelanggar hokum dan perjanjian, menerima perutusan-perutusan dari berbagai suku Arab dan Jazirah Arab, mengelola zakat dan pajak serta larangan riba di bidang ekonomi untuk menjembatani jurang pemisah antara golongan orang kaya dan miskin, menjadi hakam (arbiter) dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dan perselisihan, menunjuk para sahabat untuk menjadi wali dan hakim  di daerah-daerah dan menunjuk wakil beliau di Madinah bila beliau bertugas keluar, melaksanakan musyawarah dan sebagainya. Di dalam ilmu politik dan tatanegara juga disebutkan bahwa tugas-tugas pemerintah untuk mencapai tuujuan Negara adalah  melaksanakan penertiban dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, mewujudkan pertahanan dan menegakan keadilan. Dalam sumber lain menyebutkan bahwa tugas-tugas kepala Negara atau pemerintah atau apaturnya adalah mengurus Negara dan memimpin seluruh rakyat dalam berbagai aspek kehidupan, mempertahankan kemerdekaan, melaksanakan keamanan dan ketertiban umum agar terhindar dari gangguan dan serangan dari luar maupun dai dalam, mengembangkan segala sumber bagi kepentingan hidup bangsa dalam bidang-bidang social, politik, ekonomi dan kebudayaan.
Sosok kepemimpinan Nabi Muhammad dalam kapasitasnya sebagai pemimpin masyarakat, memimpin politik, memimpin militer dan sebagai perunding tampak dalam praktek musyawarah yang dilakukannya dalam beberapa contoh berikut. Dalam al Qur’an ada dua ayat yang menyatakan pujian terhadap orang-orang yang melak sanakan musyawarah sebelum mengambil keputusan, dan perintah melaksanakan musyawarah . Dan orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka dan mendirikan salat, sedangkan urusan mereka (diselesaikan) dengan musyawarah diantara mereka,(Q.S. al-Syura/42:38) dan  Bermusyawaralah dengan mereka dalam semua urusan, dan apabila sudah mengambil keputusan mengenai suatu perkara maka bertawakallah kepada Allah. (Q.S. Ali Imron/3:159) Perintah musyawarah dalam ayat terkhir ini bisa bermakna khusus: “Hai Muhammad bermusyawarah dengan sahabat sebelum memutuskan setiap masalah kemasyarakatan,” dan bermakna umum; “wahai umat islam bermusyawarahlah amu dalam memecahkan setiap masalah kemsyarakatan,” kewajiban ini diamanatkan kepada penyelenggara  urusan Negara dan yang berwenang menangani urusn masyarakat. Dengan petunjuk dua ayat tersebut, Nabi nabi membudayakan musyawarah dikalangan sahabatnya. Dalam bermusyawarah terkadang beliau hanya bermusyawarah dengan sebagian sahabat yang ahlidan cendekia, dan terkadang pula hanya minta pendapat dari salah seorang dari mereka. Tapi bila masalahnya penting dan berdampak luas bagi kehidupan social masyarakat, beliau menyampaikannya dalam pertemuan yang lebih bsar yang mewakili smua golongan.
                Perang badar tahun ke-2 H/624 M. perang ini merupakan kontak senjata utama antara kaum muslimin dan kaum musyrik. Nabi dalam menghadapi perang ini belum menentukan sikap kecuali setelah mengadakan musyawarah lebih dulu untuk mendapat persetujuan kaum Muhajirin dan kaum Ansar. Untuk itu beliau membicarakan kondisi mereka, seperti belanja perang yang mereka punyai dan jumlah mereka yang sedikit. Beliau juga minta sikap kaum Ansar sebagai golongan terbesar kaum muslimin dalam menghadapi perang tersebut. Mereka menyatakan siap mengorbankan segala-galanya demi perjuangan Rasul. Setelah mereka sepakat menghadapi kaum Quraisy, Nabi dan pengikutnya berangkat ke suatu tempat , Badar, terletak antara Mekkah dan Madinah. Ketika menjelang pertempuran , Nabi memutuskan untuk menempatkan posisi pasukannya di suatu tempat dekat satu mata air di Badar. Mengetahui hal ini Hubab al-Mundzir, seorang Ansar dating mendekati Nabi dan berkata : “Ya Rasulullah , apakah penentuan posisi ini atas petunjuk Allah yang karenanya kita tidak boleh maju atau mundur dari tempat itu, ataukah keputusan itu semata-mata pendapat Rasulullah?” Rasul menjawab bahwa keputusan itu bukan petunjuk Allah melainkan pendapatnya sendiri. Hubab berkata: “Kalau begitu tempat ini sungguh tidak tepat ya Rasulullah. Sebaiknya kita maju lebih ke mata air daripada musuh, lalu kita bawa tempat air untuk kita isi dari mata air itu kemudian kita menimbunnya dengan pasir sehingga kita dapat minum, sedangkan musuh tidak.” Rasul menjawab: “saya setuju dengan pendapat ini”. Kemudian beliau bersama pasukannya bergerak menuju lokasi yang dimaksudkan oleh Hubab.
            Masalah tawanan perang Badar. Pasukaan Islam dibawah pimpinan Nabi memenangkan peperangan tersebut, dan berhasih membawa pulang sejumlah tawanan. Nabi sebelum menentukan perlakuan terhadap mereka, lebih dulu bermusyawarah dengan para sahabat. Dalam musyawarah itu muncul dua pendapat  yang saling bertentangan. Abu Bakar berpendapat: “ya Nabi Allah, mereka itu adalah keluarga dan saudara-saudara Nabi, maka saya berpendapat agar engkau mengambil imbalan tebusan tunai dari mereka yang demikian kita dapat mengambil kekuatan dari mereka dan menjadi penolong bagi kita dan mudah-mudahan Allah memberi hidayah kepada mereka. ” kemudian Rasul bertanya kepada Umar: “bagaimana pendapatmu wahai Ibnu al-khatthab?” Umar menjawab: “Demi Allah, saya tidak sependapat dengan Abu Bakar, akan tetapi saya berpendapat bahwa kalau engkau member kuasa kepadaku seorang, maka saya akan memotong lehernya, dan engkau member kuasa kepada Hamzah agar ia memotong leher saudaranya, juga engkau beri kuasa kepada Ali untuk membunuh saudaranya Aqill. Dengan demikian Allah mengetahui bahwa di dalam hati kita tidak bersifat lemah lembut terhadap orang-orang kafir. Sebab mereka itu adalah para pemuka dan pemimpin Quraisy.” Nabi dalam mengambil keputusan, kata Umar, tidak mengikuti pendapatnya melainkan mengikuti pendapat Abu Bakar. Namun beliau member kebebasan kepada para sahabat untuk memilih; melepaskan para tawanan dengan tebusan tunai atau membunuhnya. Ternyata masyarakat melepaskan para tawanan setelah mereka membayar tebusan tunai yang jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan mereka yang tidak mampu membayar tebusan tapi memiliki kemampuan membaca dan menulis diwajibkan mengajar penduduk Madinah, seorang tawanan untuk sepuluh orang. Besok harinya Umar menemukan Nabi duduk bersama Abu Bakar dan keduanya sedang menangis. Umar menanyakan apa yang membuat mereka menangis. Nabi menerangkan bahwa beliau menangisi keputusan yang meminta tebusan dari tawanan, dan seandainya turun azab pada waktu itu maka hanya Umar yang lepas dari azab itu. Karena memang tidak lama setelah pelaksanaan putusan itu kemudian turun wahyu yang mencela tindakan Nabi mengambil tebusan dari para tawanan, yaitu ayat 67 surat Al-Anfal.
            Perang Uhud tahun ke-3 H/625M. Nabi juga mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya untuk menentukan strategi dalam menghadapi musuh, yaitu apakah bertahan dalam kota Madinah atau keluar menyongsong musuh dari mekkah itu. Nabi berpendapat lebih baik bertahan dalam kota. Pendapat ini disokong oleh Abdullah bin Ubay, pimpinan kaum munafik Madinah. Tapi karena mayoritas sahabat berpendapat keluar dari kota , maka Nabi mengikuti pendapat mayoritas. Keputusan tersebut ia pegang teguh dan setia sekalipun ketika di tengah perjalanan mereka yang berpendapat mayoritas ingin menarik kembali pendapat mereka. Mereka memberikan kebebasan kepada Nabi untuk mengubah keputusan itu sesuai dengan pendapatnya sendiri. Sementara Abdullah bin Ubay bersaman pengikutnya, sepertiga dari jumlah pasukan, menarik diri dan kembali ke Madinah. Dan ketika seorang Ansar mengusulkan kepada kaum yahudi, yang ketika itu adalah sekutu orang-orang Islam, sebagai tercantum dalam piagam perjanjian, Nabi menolaknya dengan mengatakan: “Kita tidak membutuhkan mereka.” Sedangkan dalam perang Khandaq Nabi tidak mengikuti pendapat mayoritas. Beliau mengikuti pendapat Salman al-Farisi yang mengusulkan agar kaum muslimin menbuat parit di sekitar kota Madinah dan memperkuat pertahanan dalam kota. Pendapat ini ditentang oleh kaum Ansar dan Muhajirin. Tapi akhirnya mereka menerima pendapat tersebbut setelahNabi member persetujuannya.
Perjanjian damai Hudaibiyah tahun ke-7 H. perjanjian ini terjadi antara Nabi Muhammad SAW. dan kaum Quraisy Mekkah. Nabi ketika membuat naskah perjanjian yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib tidak mengubris pendapat sahabatnya, seperti Abu Bakar dan Umar. Beliau selalu mengikuti pendapat Suhail bin ‘Amr, Wakil kaum Quraisy. Ketika Nabi memerintahkan Ali menuliskan: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang ” Suhail protes dengan mengatakan ia tidak mengenal kalimat itu dan minta diganti dengan kalimat “Dengan namaMu ya Tuhan.” Nabi mengiyakannya minta Ali menulisnya. Kemudian Nabi memerintahkan Ali untuk menulis: “Ini adalah nakah perjanjian Muhammad Utusan Allah bersama Suhail bin ‘Amr.” Suhail lagi-lagi tidak setuju dengan alamsan jika ia percaya bahwa Muhammad Utusan Allah, maka ia tidak akan memusuhinya. Karenanya ia minta: “Tuliskan saja namamu dan nama ayahmu”. Nabi menyetujuinya dan memerintahkan Ali untuk menuliskan: “Ina adalah naskah perjanjian Muhammad bin Abdullah bersama Suhail bin ‘Amr.” para sahabat sangat marah melihat Nabi yang mengikuti saja kehendak Suhail. Tapi Beliau tidak memperdulikannya. Dengan demikian Rasul bersedia menghapus tujuh kata karena Suhail yang mewakili mayoritas penduduk Mekkah yang masih musyrik tidak dapat menerimanya. Tujuh kata yang dihapus adalah: bismi, Allah, al-Rahman, al-Rahim, Muhammad, Rasul dan Allah. Demikian juga isi perjanjian kurang dapat diterima para sahabat karena lebih menguntungkan pihak Quraisy.
Peristiwa bersejarah tampak sekali Nabi tidak ngotot memperjuangkan kalimat yang diusulkannya. Beliau begitu spontan dan berjiwa besar mengikuti kehendak musuh. Yang penting baginya bukan apa yang tercantum dalam pembukaan naskah perjanjian itu, melainkan bagaimana agar perjanjian damai berhasil diwujudkan dan dampak yang akan diperoleh dibalik perjanjian itu kemudian.
Perlakuan Nabi terhadap jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika tokoh munafik ini meninggal, putranya yang bernama Abdullah mendatangi Rasulullah untuk minta kain kafannya dan beliau memberikannya. Kemudian ia minta pula agar Rasul bersedia menyembahyangkannya dan beliau pun memenuhi permintaan itu. Mengetahui hal ini, Umar mengingatkan Rasul supaya tidak memenuhi permintaan tersebut. Sebab al-Qur’an (surat at-Taubah ayat 80) telah menyatakan bahwa tidak berfaedah meminta ampun bagi orang-orang munafik sekalipun dimintakan ampun sebanyak tujuh puluh kali, Allah tidak akan mengampuninya. Tapi Rasul tetap menyembahyangkan jenazah tersebut. Tidak lama kemudian turun wahyu seperti terdapat dalam al-Qur’an  surat at-Taubah ayat 84 sebagai penjelasan ayat di atas yang melarang rasul menyembahyangkan jenazah orang-orag munafik. Dari kasus-kasus tersebut tampak bahwa pendapat Umar dua kali mendpat pembenaran dari Allah melalui wahyuNya. 
Dari beberapa contoh musyawarah tersebbut tampak bahwa Nabi selalu mengajak para sahabat bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah-masalah social politik yang dihadapi, dan beliau mentolerir adanya perbedaan pendapat di antara mereka. Namun demikian keputusan harus ada yang menjadi kesepakatan bersama.
Kenyataan tersebut mengandung arti baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menentuksn bentuk dan sistem musyawarah serta mekanismenya sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan mereka. Yang penting dalam pelaksanaan musyawarah itu dan pengambilan keputusannya tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran Islam. Yaitu kebebasan, persamaan dan keadilan.
Bila praktek musyawarah tersebut didalami lebih lanjut dengan melihat dari sudut kuantitas peserta yang Nabi minta pendapatnya dan kualitas masalah, maka tidaklah berlebihan bila praktek musyawarah beliau tersebut diidentikkan dengan praktek musyawarah yang dilakukan oleh kepala Negara atau pemerintah di zaman modern ini. Dalam kenyataannya, praktek musyawarah antar berbagai pemerintah dan Negara sekalipunsama-sama menganut paham demokratis, tidak menunjukan keseragaman.
Pranata social lain dari praktek perintahan Nabi adalah membangun hubungan yang harmonis antara warga Negara muslim dan non-muslim yang disebut dzimmi. Walaupun mereka berbeda agama, sebagaimana diatur dan disahkan dalam piagam Madinah, namun mereka memperoleh hak yang sama dalam hal perlindungan dan keamanan jiwa, membela diri, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan kedudukan di depan hukum. Nabi juga mengadakan hubungan dengan penguasa-penguasa yang ada di jazirah arab dengan mengirim surat-surat melalui utusan-utusan beliau. Memang inti surat-surat itu untuk tujuan dakwah; mengajak mereka kepada Islam, sebagai bagian dari missi kenabiannya. Tapi pada sisi lain tersirat kehendak Nabi agar tercipta hubungan damai. Dengan adanya hubungan damai dan saling pengertian diharapkan para penguasa tersebut dapat menerima kehadiran Islam di wilayah kekuasaan mereka. Ini dapat disebut sebagai “politik dakwah Nabi” dalam rangka syiar Islam.
Dalam piagam Madinah beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi, yang berarti pemegang kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Tapi walaupun pada masa itu orang belu mengenal teori pemisahan atau pembagian kekuasaan, namun dalam prakteknyabeliau mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan yudikatif kepada para sahabat yang dianggap cakap dan mampu.timbulnya berbagai masalah yang dihadapi dan perkembangan wilayang kekuasaan menurut adanya peta pembagian tugas. Untuk pemerintahan di madinah Nabi menunujuk beberapa sahabat sebagai pembantu beliau. Untuk pemerintahan di daerah Nabi mengangkat seorang wali, seorang qadhi dan seorang ‘amil untuk setiap daerah atau propinsi.
Adapun pranata social di bidang ekonomi yang juga menjadi bagian dari tugas kenegaraan, adalah usaha Nabi Muhammad SAW mewujudkan keadilan dan kesejahteraan social rakyat Madinah.
Sedangkan praktek pemerintahan Nabi Muhammad di bidang hukum adalah kedudukan bekliau sebagai hakam untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul dikalangan masyarakat madinah, dan menetapkan hukuman terhadap pelanggar perjanjian. Kedudukan sebagai hakam dan tugas ini pernah beliau wakilkan kepada sahabat, penunjukan salah satu sahabat menjadi hakim, merupakan bukti praktek pemerintahan Nabi Nabi di bidang pranata social hukum.
Dari sebagai contoh praktek pemerintahan yang dilakukan  oleh Muhammad SAW  tersebut, tampak bahwa beliau dalam kapasitasnya sebagai kepala Negara dalam memerintah Negara  Madianah dapat dikatakan amat demokratis. Sakalipun undang-undangnya berdasarkan wahyu Allah yang beliau terima, dan Sunnah beliau termasukk piagam Madinah. Beliau tidak bertindak otoriter sekalipun itu sangat mungkin beliau lakukan dan akan dipatuhi oleh umat Islam mengingat statusnya sebagai Rasulullah yang wajib ditaati.
Dalam kontek itu beberapa ahli mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai bentuk dan corak Negara Madinah tersebut di zaman Rasulullah. Ali Abd al-Raziq berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai pemerintahan dan tidak pula membentuk kerajaan. Sebab beliau hanya seorang Rasul sebagaimana Rasul-Rasul lain, danbukan sebagai raja atau pembentuk Negara.  Kepemimpinan beliau  adalah kepemimpinan seorang Rasul yang memebawa ajaran baru, dan bukan kepemimpinan seorang raja, dan kekuasaannya hanyalah kekuasaan seorang Rasul, bukan kekuasaan seorang raja. Berbeda dari pendapat ini, Khuda Baks, penulis dari Gerakan Aligarh India, menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak hanya membawa agama baru, tetapi juga membentuk suatu pemerintahan yangbercorak teokratis, yang puncaknya berdiri seorang wakil Tuhan di muka bumi.
Pada ummnya, para ahli berpendapat, masyarakat yang dibentuk oleh Nabi di Madinah itu adalah Negara, dan beliau sebagai kepala negaranya. Watt, seorang orientalis, menyatakan masyarakat yang dibentuk oleh nabi di Madinah bukan hanya masyarakat agama, tetapi juga masyarakat politik sebagai pengejawantahan dari persekutuan suku-suku bangsa arab. Instansi persekutuan itu adalah rakyat Madinah dan Nabi Muhammad sebagai pemimpinannya. Sebab beliau disamping seorang rasul juga adalah Kepada Negara. Hitti juga berpendapat, terbentuknya masyarakat keagamaan di Madinah yang bukan berdasarkan ikatan darah membawa kepada terbentuknya Negara Madinah. Diatas puncak Negara ini berdiri berdiri Tuhan, dan Nabi Muhammad adalah wakil Tuhan di muka bumi.
Menurut Madjid Khadduri, apabila syariat Islam berperan dalam pemerintahan umat Islam, maka ia disebut nomokrasi. Demikian juga pemerintahan Nabi. Sedangkan bagi Al-Maududi, sistem pemerintahan yang demikian ia sebut teo-demokrasi. Sebab, disamping syariat yang diwahyukan Tuhan sebagai pemenang kedaulatan tunggal mengenai berbagai ketentuan hukum, kekuasaan Tuhan berada di tangan umat untuk melaksananakan syariat. Karenanya ia membatasi kedaulatan rakyat. Namun umat memperoleh kedudukan utama untuk memusyawarahkan masalah-masalah yang belum jelas hukumnya dalam syariat Islam.
Dalam Negara Madinah itu memang ada dua kedaulatan , yaitu kedaulatan Syariat Islam sebagai undang-undang Negara itu, dan kedaulatan umat. Syariat Islam sebagai undang-undang di satu segi ia membatasi kekuasaan umat untuk membuat undang-undang mengenai hukum sesuatu bila penjelasan hukumnya sudah jelas dalam nash syariat. Tapi di segi lain ia member hak kebebasan kepada umat untuk menetapkan hukum suatu hal yang belum jelas hukumnya, memerintahkan kepada umat agar memusyawarahkan setiap urusan mereka, yaitu urusan yang belum jelas hukumnya, dalam nash syariat. Ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad sebagai salah satu aktivitasnya yang menonjol di bidang pranata social politik dalam memimpin Negara Madinah. Jadi Negara Madinah itu adalah Negara yang berdasarkan Syariat Islaam, tapi ia member hak bermusyawarah dan berijtihad kepada umat. Dengan demikian corak Negara Madinah adalah Negara berasaskan syariatIslam, dan bersifat demokratis.
Dari uraian mengenai Negara Madinah pada periode Muhammad SAW, tampak aktivitas beliau tidak hanya menonjol di bidang risalah kenabian (dalam kapasitasnya sebagai Nabi dan Rasul)  untuk mengajarkan wahyu yang diterimanya dari Allah SWT kepada manusia. Tetapi juga menonjol di bidang keduniaan untuk membangun kebutuhan spiritual dan kebutuhan materilal masyarakat yang terdiri darui berbagai etnis, penganut agama dan keyakinan yang berada di bawah kepemimpinannya. Artinya Nabi Muhammad SAW telah menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang berhasil melaksanakan prinsip keseimbangan antara kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat bagi umatnya. Terlaksananya prinsi[p keseimbangan ini kaena beliau menerapkan secara konsisten prinsip musyawarah , prinsip kebebasan berpendapat, prinsip kebebasan beragama, prinsip persamaan bagi semua lapisan social , prinsip keadilan social dan kesejahteraan social rakyat baik kesejahteraan materilnya mau pun kesejahteraan spiritualnya, prinsip persatuan dan persaudaraan, prinsip amar makruf dan nahi mungkar, dan prinsip ketakwaan.

Related Posts :

0 Response to "Pemerintahan di Masa Nabi Negara Madinah"

Posting Komentar