Perbedaan Antara Hukum Islam dan Hukum Barat

Positivisme, Normativisme, dan Rasionalisme Hukum Barat
Filsafat ilmu membedakan pengetahuan berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empiris dan pandangan normative yang melahirkan ilmu normatif. Ilmu hukum memiliki dua sisi yang dimaksud.Pada satu sisi ilmu hukum menampilkan karakter khas sebagai ilmu normatif,sementara pada sisi lain ia menunjukkan ciri-ciri sebagai ilmu empiris. Sisi empiris telah berkembang sedemikian rupa dengan menggunakan metode penelitian sosial.
Karena itu, tanpa ragu orang memasukkannya dalam kerabat ilmu sosial. Bahkan sebagian pakar menggolongkan ilmu hukum sebagai ilmu sosial paling tua. Konsekuensi memasukkan ilmu hukum dalam ilmu sosial adalah penggunaan
format ilmu sosial sebagai ilmu empiris dalam kegiatan penelitian hukum. Istilahistilah seperti sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data, serta perumusan masalah dalam kalimat tanya adalah bermakna empiris.
Secara diametral dapat dihadap-hadapkan antara ilmu hukum empiris yang melahirkan positivisme hukum pada satu pihak dan ilmu hukum normatif pada pihak lain. Positivisme hukum (Ilmu Hukum Empiris) memandang hukum sebagai sebuah fakta yang dapat diterapkan dan bebas nilai (value free). Namun, jika dihadapkan pada kenyataan kebutuhan para praktisi dan ilmuwan hukum normative dalam praktik hukum sehari-hari, positivis hukum tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan sebagai batu uji kritis yang diajukan padanya, seperti “Apakah arti hukum empiris untuk praktik hukum tidak bermanfaat?”. Studi-studi sosio-legal menekankan arti penting penempatan hukum dalam konteks sosialnya, namun studi-studi tersebut hanya sampai pada tingkatan menggambarkan kesenjangan, tetapi jarang menjelaskannya.
Diakui bahwa positivisme hukum dapat memberikan penjelasan yang bermakna tentang suatu gejala hukum yang diinterpretasi secara faktual, tetapi refleksi masa depannya hanya bermakna terhadap penyusunan kebijakan hukum dan aturan perundang-undangan yang akan datang dan tidak bermakna terhadap suatu problema atau kasus hukum yang sementara berlangsung dan harus diputuskan segera. Justru dalam hal ini penilaian kritis tentang isi hukum terletak dalam sifat khas hukum sebagai ilmu normatif dan ini tidak dapat dilakukan melalui ilmu empiris, karena ilmu empiris tidak membahas dimensi hakiki hukum itu sendiri.
Perbedaan paradigma dan konsekuensi penggunaan metodologi dalam penelitian menunjukkan bahwa pandangan positivistik (ilmu hukum empiris) dibangun berdasarkan kriteria keilmuan, tradisi, dan prinsip-prinsip dalam ilmu sosial yang sangat kuat dipengaruhi oleh filsafat positivistik Auguste Comte.
Filsafat positivistik Comte berakar amat kuat dalam paradigma pandangan seperti di atas. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya pengaruh yang kuat dalam memandang ilmu hukum dari sisi empirisnya. Pandangan seperti ini banyak mengilhami gagasan American Realism serta ilmuwan-ilmuwan hukum empiris lain di belahan dunia.
Manfaat temuan ilmu hukum empiris berguna dalam penyusunan kebijakan terhadap penegakan hukum dalam jangka panjang. Sebaliknya, ia tidak bermanfaat dalam praktik kasus hukum yang dihadapi pada saat sekarang. Dalam praktiknya, setiap keputusan hukum dibuat berdasarkan analisis hukum yang cermat dan akurat dengan menggunakan bahan-bahan hukum otoritatif yang sepenuhnya disandarkan pada analisis yuridis normatif.
Ilmu hukum empiris melalui pengolahan terhadap data-data empiris memiliki kemampuan untuk meramalkan berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Karya ilmu hukum normatif dimaksudkan untuk mengubah keadaan dan melalui analisis terhadap bahan hukum positif ia menawarkan penyelesaian terhadap problem kemasyarakatan yang konkret. Kedua ilmu yang sangat berbeda karakter ilmiahnya ini tentu dapat memberikan sinergi yang positif untuk kepentingan dan kemajuan masyarakat. Meski demikian, sinergi tersebut baru akan memberikan hasil yang nyata jika orientasi dan karakter masing-masing ilmu tersebut dipahami secara benar dalam satu hubungan kesetaraan yang saling menyapa dan saling memberikan umpan balik.
Ilmu hukum empiris tidak pernah menjadi ilmu hukum normatif, demikian pula sebaliknya ilmu hukum normatif tidak akan pernah menjadi ilmu hokum empiris. Ilmu hukum empiris melakukan kegiatan ilmiah dalam paradigma ilmu sosial, sedangkan ilmu normatif melakukan kegiatan ilmiahnya dalam paradigm ilmu praktis normologis. Melupakan karakter kedua ilmu tersebut dan berusaha mempersatukannya adalah suatu tindakan yang ceroboh, karena tidak menghargai arah dan kualitas ilmiah yang dihasilkan kedua ilmu tersebut. Memahami dan mamanfaatkan temuan kedua ilmu tersebut untuk kepentingan masyarakat merupakan upaya yang tidak akan pernah berhenti, apa pun rintangannya.
Auguste Comte yang dianggap sebagai peletak dasar positivism memperkenalkan hukum tiga tahap perkembangan intelektual manusia, yaitu: 1)
teologi, 2) metafisika, dan 3) positivis. Ini tercermin dari cara manusia menjelaskan berbagai gejala sosial ekonomi. Manusia pada tahap pertama mengacu kepada hal-hal yang bersifat adikodrati, pada tahap kedua mengacu kepada kekuatankekuatan metafisika, dan pada tahap ketiga mengacu kepada deskripsi dan hokum-hukum ilmiah. Positivisme tidak mengakui hal-hal di luar empiris-sensual manusiatersebut. Bertolak dari hukum-hukum ilmiah, positivisme menekankan bahwa objek yang dikaji harus berupa fakta, dan bahwa kajian harus mengarah kepada kepastian dan kecermatan. Masih menurut Comte, sarana yang dapat dilakukan untuk melakukan kajian ilmiah adalah pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Megingat sosiologi dianggap memenuhi hukum tiga tahap dari Comte ini maka hingga saat ini penelitian hukum dari sisi empiris dianggap lebih ilmiah dan mendapat banyak dukungan.
Berbeda dengan positivisme yang bertumpu pada fakta-fakta empiris, rasionalisme menekankan bahwa ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logis. Apa yang terpenting dalam rasionalisme adalah ketajaman dalam pemaknaan empiris. Noeng Muhajir menegaskan bahwa pemahaman intelektual dan kemampuan argumentatif perlu didukung data empiris yang relevan agar produk ilmu yang berlandaskan rasionalisme betul-betul ilmu, bukan fiksi. Bagi rasionalisme, fakta empiris bukan hanya yang sensual, melainkan ada empiris logis, empiris teoretis, dan empiris etis. Misalnya, ruang angkasa, peninggalan sejarah masa lampau, dan jarak sekian tahun juta cahaya. Semuanya merupakan realitas, tetapi tidak mudah dihayati
secara sensual melainkan dapat dihayati secara teoretis. Karena itu, sekali lagi, rasionalisme mengakui realitas empiris teoretis dan empiris logis. Inti pemikiran positivisme adalah bahwa apa yang dinamakan ilmu harus bias dibuktikan secara empiris. Pemikiran ini sebenarnya merupakan embrio dari aliran empirisisme dengan adagium, Experience is the source of all human knowledge (pengalaman adalah sumber ilmu pengetahuan). Metode yang digunakan dalam pemikiran ini didasarkan pada logika induktif. Dalam kaitan dengan ilmu sosial, wacana yang dikembangkan aliran ini bahwa ilmu adalah seluruh informasi yang mengandung pengetahuan dan telah teruji secara benar menurut prosedur sain tentang suatu kejadian di alam empiris.
Penentangan terhadap pemikiran aliran ini muncul dari kalangan rasionalisme dengan jargon yang terkenal di kalangan mereka, The reason is the source of all human knowledge (akal budi manusia merupakan sumber ilmu pengetahuan). Dengan pernyataannya itu maka metode yang digunakan didasarkan pada logika deduktif, logis dan matematis. Pada dasarnya, menurut pandangan rasionalisme, realitas dapat diketahui atau beberapa kebenaran tentang realitas dapat diketahui tanpa bergantung pada pengamatan, pengalaman, dan penggunaan metode empiris. Kebenaran tidak perlu diuji dengan prosedur verifikasi indrawi, tetapi dengan kriteria konsistensi logis.
Kalangan positivisme mengajukan asas verifikasi untuk membuktikan kebenaran ilmiah. Berdasarkan asas ini, suatu putusan ilmiah adalah benar hanya jika keputusan itu dapat diverifikasi secara empiris, medan ujinya adalah fakta atau kenyataan yang dapat diobservasi. Untuk ini metode yang digunakan adalah metode empiris melalui penalaran induksi. Sementara itu, tentang kebenaran, aliran positivisme menganut teori korespondensi yang menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara putusan atau proposisi dan dunia kenyataan.
Pada sisi lain, aliran rasionalisme mengembangkan teori falsifikasi yang rumit. Inti pemikiran aliran ini bertumpu pada pernyataan bahwa pengetahuan ilmiah harus objektif dan teoretikal dengan analisis akhir yang harus mampu menggambarkan dunia yang dapat diobservasi. Meski tetap mendasarkan pada kebenaran atas dasar teori korespondensi, namun aliran rasionalisme menegaskan bahwa putusan ilmiah yang sesuai dengan kenyataan yang teramati hanya menghasilkan pengetahuan yang mungkin benar. Karena itu, pengetahuan tersebut hanya dipandang benar sampai dibuktikan sebaliknya. Dengan demikian, aliran ini menolak metode induksi sebagai metode ilmiah dalam memperoleh pengetahuan. Mengingat, kesimpulan umum yang dihasilkan metode induksi bertumpu pada premis-premis partikuler. Metode ilmiah yang tepat menurut aliran ini adalah menggunakan logika deduksi, yakni berdasarkan dalil umum lalu ditarik kesimpulan khusus atau proposisi partikuler.
Bertolak dari pola pikir rasionalisme, variabel penelitian tidak bisa dipahami secara fragmentatif, melainkan harus dipahami secara holistik dalam suatu kerangka nilai dan sistem sosio-kultural, politik dan ekonomi. Karena itu, di antara kritik rasionalisme terhadap positivisme adalah: a. Positivisme cenderung mengabaikan pencarian makna di balik empiris sensual, sehingga hasil-hasil penelitian menjadi kehilangan makna. b. Positivisme terlalu mengunggulkan fakta fragmentatif, sehingga kehilangan konteks sosio-kultural hasil-hasil penelitian. c. Positivisme bersifat reduksionis karena hanya mengakui fakta empiris yang sensual, padahal di samping yang sensual masih terdapat empiris logis, teoretis dan etis.
Dominasi pemikiran aliran positivisme dalam hukum mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-19 M, seiring munculnya berbagai pengaturan dalam bentuk hukum yang menuntut kepatuhan serta memberi ancaman sanksi agar tercipta masyarakat yang teratur. Struktur masyarakat yang semakin kompleks, tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin pesatnya perdagangan antarbangsa, membutuhkan para Juris profesional untuk menangani permasalahan hukum. Para Juris yang mendasarkan karyanya pada hukum positivistis-analitis membangun pemikiran rasional dalam memandang hukum sebagai sebuah sistem yang utuh.
Dampak lain pemikiran aliran positivisme dalam hukum adalah berkembangnya ilmu hukum dengan menggunakan format ilmu sosial dalam paradigma ilmu empiris. Para ilmuwan hukum merasa lebih percaya diri apabila menggunakan pendekatan sosial empiris. Dengan menggunakan pendekatan ini, penjelajahan ilmu hukum akan lebih ilmiah karena dapat dikwantifikasi dan memungkinkan digunakannya rumus-rumus ilmu pasti untuk menjamin pembuktian ilmiah dari segi empiris. Pemikiran Comte menginginkan apa yang bersifat sosial dalam masyarakat dapat diredusir ke dalam dalil-dalil yang pasti sehingga lebih bersifat ilmiah sesuai hukum tiga tahap yang dikembangkannya.
Dengan memasukkan ilmu hukum ke dalam struktur ilmu sosial maka penelitian hukum harus melakukan adaptasi sesuai karakteristik data-data lapangan yang mesti digali, diolah dan dianalisis sedemikian rupa. Fakta-fakta maupun peristiwaperistiwa sosial yang tengah terjadi di masyarakat diolah dengan menggunakan perangkat teori-teori hukum sebagai alat analisisnya. Kemudian temuan berupa konsep-konsep hukum yang dihasilkan secara kwalitatif dapat dikwantifikasi untuk dapat diukur tingkat validasinya.
Mengadopsi metode penelitian ilmu sosial nampaknya memang sulit dihindarkan dalam penelitian hukum lantaran jenis data yang diperlukan memiliki aspek kesamaan berupa fakta-fakta fenomenologi. Tentu saja adopsi ini dilakukan dengan mengawinkan atau sekurang-kurangnya melakukan adaptasi sehingga tidak mengenyampingkan karakteristik penelitian hukum yang empiris sekaligus logis. Khusus dalam penelitian hukum Islam, panduan umum berupa dasar-dasar teori yang bersumberkan wahyu mesti dijadikan alat pembimbing dalam melakukan penelitian. Sebab merupakan bagian karakteristik hukum Islam adalah mempunyai pijakan wahyu baik secara langsung berupa dalil-dalil juz’i yang bersifat mikro maupun tidak langsung berupa dalil-dalil kulli yang makro.
Implikasi Perbedaan Hukum Islam dan Positivisme Barat
Auguste Comte tidak menggolongkan ilmu hukum ke dalam salah satu kelompok ilmu. Alasan Comte sederhana, ilmu hukum tidak memenuhi kriteria positif dalam hukum tiga tahap yang melandasi penggolongan ilmu versi Comte. Baginya, hokum merupakan bagian dari metafisika yang tidak masuk akal dan tidak mengandung moral. Menurut pandangan sosiologis, filsafat positivisme Comte merupakan penyebab lenyapnya cita rasa hukum untuk selama-lamanya. Namun demikian, pada sisi lain pemikiran Comte memberikan banyak andil pencerahan bagi ilmuwan hokum sesudahnya. Istilah ‘positif’ dalam lingkup ilmu hukum mulai digunakan secara intens pasca digulirkannya pemikiran filsafat positivisme Comte.
Jika diaplikasikan ke dalam pemikiran tentang hukum, paham positivism menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum sebagaimana dianut oleh para pendukung aliran hukum alam (naturalis) atau aliran hukum kodrat. Karena itu menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontrak yang konkret antar warga masyarakat atau wakilwakilnya. Dalam konteks ini, hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang telah mengalami positivisasi guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum.
Meski penggunaan makna positif versi Comte juga memberikan pengaruh terhadap para ilmuwan hukum, namun tidak boleh dilupakan bahwa kata ‘positif’ juga merupakan asli kata dari kosakata dalam ilmu hukum. Asal kata ‘positif’ dalam hukum berbeda dengan istilah ‘positif’ versi Comte. Istilah positif dalam hokum merupakan terjemahan dari ius positum menjadi hukum positif yang mengandung makna hukum yang ditetapkan. Jadi, munculnya istilah ius positum pada zaman hukum romawi jauh lebih awal sebelum pemunculan karya-karya pemikiran Comte.
Dalam etimologi latin, positivisme atau positivus mempunyai makna ditetapkan, ditentukan oleh kehendak, dikehendakkan, dan positif. Makna lain dari positivism adalah meletakkan, yaitu bahwa tindakan manusia itu adil atau tidak, sepenuhnya bergantung pada peraturan atau hukum yang diletakkan atau diberlakukan.
Dalam konteks hukum Islam, apa yang disorot comte sebenarnya mengarah pada elemen hukum ibadah (ritual) yang memang mempunyai watak immutable dan tidak didasarkan pada fakta empiris dan logis. Dalam ranah hukum ibadah unsure akal-budi dan intelektual manusia tidak banyak berperan dalam proses penelusuran makna di balik apa yang tersurat. Sebaliknya, dalam elemen hukum mu’amalah penilaian comte bahwa hukum merupakan bagian dari metafisika yang tidak masuk akal dan tidak memuat unsur moral tidak memiliki relevansinya. Sebab, muatan hukum mu’amalah dalam Islam selain sangat positivistik juga mengapresiasi nilai-nilai moral dalam membangun pranata sosial berbasiskan ketentuan-ketentuan hukum operasional. Selain itu, akal-budi manusia mempunyai peran cukup signifikan dalam rangkaian kerja istinbath untuk menelorkan ketentuan-ketentuan hukum.
Sumber inspirasi dalam hukum mu’amalah selain berupa prinsip-prinsip umum dalam ketentuan wahyu, juga berupa realitas masyarakat dengan aspek perubahan dan pengembangannya yang tak bisa dielakkan. H.L.A. Hart, seorang Positivist modern berpengaruh di Inggris, membangun tesis tentang positivisme dengan memisahkan secara tegas keterkaitan antara hokum dan moral. Sikap seperti ini sangat berlawanan dengan pandangan aliran hokum alam yang menegaskan bahwa hukum dan moral tidak dapat dipisahkan. Pengaruh Comte terhadap pemikiran Hart tampak pada waktu ia menguraikan gagasan tentang hukum murni yang terpisah dari aspek moral.
Sebagaimana aliran hukum alam, hukum Islam juga tidak memisahkan antara hukum dan moral. Hukum Islam memandang keduanya sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Sebagai guide-line atau perangkat aturan, hukum tidak bisa berdiri sendiri dalam pergumulannya dengan masyarakat. Sebaliknya, ia perlu disandingkan dengan komponen lain, yaitu moralitas yang dalam terminologi agama sering disebut tashawwuf atau akhlaq karimah. Dalam kaitan ini adagium yang sering dikemukakan adalah “hukum tanpa moralitas adalah durjana, sementara moralitas tanpa hukum adalah utopia”. Dalam ungkapan bahasa arab, adagium yang sering ditekankan para Juris Islam tersebut berbunyi sebagai berikut:
Artinya: Barangsiapa mendalami hukum tapi tidak menekuni tashawwuf (moral) maka sungguh dia menjadi fasiq. Sebaliknya, barangsiapa mempelajari tashawwuf tapi tidak mendalami hukum maka dia telah menjadi zindiq.
Pembedaan normativisme dan empirisme dalam hukum barat nampaknya mempunyai perspektif berbeda dengan klasifikasi hukum Islam. Dalam Islam, hukum secara luas dibagi menjadi dua elemen besar, yaitu fiqh ibadah (ritual) dan fiqh mu’amalah (sosial). Apa yang kemudian disebut normatif dalam nomenklatur hukum barat sesunggunya memiliki aspek persamaan dengan hukum Islam dalam pembagian pertama (fiqh ibadah). Disebut normatif lantaran diktum hukum semacam ini berwatak statis dan tidak dapat berkembang mengikuti irama perubahan yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi dari segi sumbernya keduanya memiliki perbedaan cukup signifikan lantara fiqh ibadah mengacu pada ketentuan wahyu verbal. Dalam Islam, fiqh ibadah berkaitan dengan tata cara bagaimana seorang hamba melakukan amalan ritual sebagai wujud kehambaan dirinya di hadapan sang pencipta. Ini bisa dilihat dalam praktik ritual keagamaan semisal shalat, puasa, membayar zakat, membaca al-Qur’an dan lain-lain.
Dari wujud kestatisan fiqh ibadah ini kemudian muncul kaidah hukum atau maxim yang sangat populer dalam pemikiran hukum Islam, yaitu:
Artinya: Allah tidak dapat disembah kecuali dengan tata cara yang sudah dianjurkan dalam syari’at.
Dengan mengacu pada kaidah ini maka kita tidak bisa mengkreasi sendiri format ritual keagamaan di luar apa yang sudah ditetapkan dalam diktum-diktum fiqh ibadah. Dalam format ritual shalat, misalnya, kita tidak bisa menambah atau mengurangi jumlah raka’atnya. Begitu juga dalam ibadah haji, kita tidak bisa mengubah rukun-rukunnya, misalnya dengan memindah praktik amalan haji ke tempat lain di luar tanah suci Makkah dan sekitarnya. Karena itu maxim serupa yang juga populer dalam pemikiran hukum Islam mengatakan:
Artinya: hukum asal dalam fiqh ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang menunjukkan hukum sebaliknya.
Maksudnya, selama belum ada ketentuan baku dalam syari’at menyangkut tata cara ibadah, kita diharamkan membuat tata cara sendiri di luar ketentuan yang sudah digariskan dalam syari’at. Elemen kedua (mu’amalah) dalam nomennklatur hukum Islam merupakan ketentuan-ketentuan hukum berkaitan dengan persoalan sosial kemasyarakatan. Elemen fiqh yang ini dapat mengalami perubahan sesuai konteks perkembangan masyarakat. Apa yang penting dalam fiqh mu’amalah adalah bagaimana kita mengapresiasi prnsip-prinsip luhur ajaran agama yang dituangkan secara garis besar oleh teks agama. Hal ini seperti nilai-nilai keadialan (al-‘adalah), kesetaraan (al-musawat), permusyawaratan (al-syura), saling legawa (al-taradli), tidak terselubung (‘adamu algharar), tidak ada pemaksaan (‘adamu al-ikrah), dan tidak spekulasi (‘adam al-muqamarah).
Dengan menegakkan prinsip-prinsip di atas maka fiqh sesungguhnya merupakan gerakan moral dengan menjunjung hak dan kewajiban masing-masing pihak secara proporsional dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selama mengacu pada prinsip-prinsip umum tersebut, ketentuan dalam fiqh mu’amalah tidak memerlukan dalil teks secara terperinci dan mendetail. Kaidah hukum yang sering digunakan dalam menyikapi soal seperti ini adalah,
Artinya: fiqh mu’amalah pada dasarnya adalah bebas dilakukan hingga diketahui
adanya larangan.
Kaidah lain yang semakna dengan kaidah tadi adalah,
Artinya: hukum asal dari fiqh mu’amalah adalah boleh dilakukan kecuali terdapat dalil yang menunjukkan hukum sebaliknya).
Dari kedua kaidah tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak seperti hokum ibadah yang statis, hukum mu’amalah mempunyai watak fleksibel dan kompatibel dengan perubahan yang terus terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Kenyataannya, teks agama yang berkaitan dengan fiqh mu’amalah umumnya bersifat mujmal, hanya mengatur persoalan hukum secara garis besarnya saja. Kondisi seperti ini bukannya tanpa disengaja oleh syari’ (pembuat syari’at). Sebaliknya, syari’ sengaja memberi aturan demikian agar ajaran agama yang berdimensikan sosial dapat bergerak dinamis merespons aneka persoalan yang terus berkembang di tengah masyarakat.
Dalam menyikapi beragam peristiwa hukum di masyarakat, seorang juris mesti mengkajinya dengan menggunakan perangkat istidlal baik berupa teks agama maupun pengamatan terhadap realitas sehingga dapat memunculkan kesimpulan hukum yang mengacu pada prinsip-prinsip luhur ajaran agama. Dengan ungkapan lain, pretensi juris dalam melakukan penggalian hukum adalah bagaimana produk hukum yang dihasilkan dapat mencerminkan nilai-nilai maqashid al-syari’ah (maksud dan tujuan syari’at), yaitu untuk menebar kemaslahatan dan mencegah terjadinya kerusakan (li jalb al-mashalih wa dar’i al-mafasid).
Watak fiqh mu’amalah yang dinamis seperti ini menyebabkan kajian dan penelitian tentang peristiwa-peristiwa hukum di masyarakat menjadi sangat penting maknanya. Pesatnya perkembangan masyarakat sebagai obyek hukum meniscayakan perlunya membingkai ketentuan hukum dengan menggunakan instrumen baru sesuai konteks perubahan. Karena itu pemilihan metodologi kajian yang sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat perlu dilakukan guna mengimplementasikan nilai-nilai luhur ajaran di tengah kehidupan mereka. Instrumen penelitian hukum, dengan demikian, sesungguhnya bisa mengadopsi penelitian ilmu-ilmu sosial lantaran data-data yang diperlukan berupa fakta alamiah. Penelitian jenis ini kemudian mengalami adaptasi sesuai watak hukum Islam yang memadukan antara pemahaman atau interpretasi terhadap gejala teks wahyu di satu pihak dan fenomena alam berupa fakta dan peristiwa yang terjadi pada masyarakat di pihak lain.
Dalam kenyataannya, hukum Islam dalam elemen mu’amalah mengalami perkembangan cukup pesat dari waktu ke waktu. Jika pada masa-masa awal, fiqh mu’amalah banyak berhubungan dengan jenis-jenis transaksi secara tradisional sesuai realitas masyarakat saat itu, maka sekarang sedemikian berkembang cakupannya sesuai dinamika alat transaksi modern sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga dalam hal perkembangan hukum ketatanegaraan, pada masa-masa awal, hukum tata negara belum seberapa berkembang lantaran system yang dianut saat itu bersifat monolog dan bertumpu pada aspek kekhalifahan dan kerajaan. Sebaliknya di masa kita sekarang teori ketatanegaraan sedemikian dinamis seiring pesatnya perkembangan negara-negara bangsa (nation states) di belahan dunia, termasuk dunia Islam.
Karena itu tidak mengherankan jika pada masa-masa awal kelahiran hukum Islam, tema-tema kajian yang muncul berkisar pada transaksi jual beli dan yang sejenisnya, hukum perkawinan dengan berbagai implikasinya, serta hukum-hukum pidana Islam (jinayah). Sebaliknya, sekarang, kajian hukum Islam menjangkau tema-tema lebih luas sesuai tingkat perkembangan. Mengingat luasnya wilayah kajian hukum Islam saat ini maka perlu juga ada pemilahan-pemilahan lebih spesifik sehingga paradigma hokum mu’amalah lebih mudah diakses oleh masyarakat. Pemilahan tersebut, misalnya menjadi Fiqh al-Siyasah (hukum politik), Fiqh al-Daulah (hukum tata negara), Fiqh al-Dustur (hukum konstitusi), Fiqh al-Iqtishad (hukum ekonomi), Fiqh al-Usrah (hokum keluarga), Fiqh al-Mar’ah (hukum gender atau perempuan), Al-Fiqh al-Jina’i (hokum pidana), al-Fiqh al-Madani (hukum perdata), dan Fiqh al-Murafa’at (hukum acara).
Dari sudut pendekatan logika yang digunakan, terdapat perspektif berbeda
walaupun dalam hal tertentu terdapat sejumlah segi persamaan antara hukum Islam dan positivisme barat. Jika positivisme cenderung menggunakan logika induktifempirik, maka dalam hukum Islam pendekatan seperti itu direpresentasikan dalam penyekatan aliran mutakallimin di satu pihak dan aliran ahnaf di pihak lain. Kalangan mutakallimin yang beranggotakan mayoritas juris dalam hukum Islam menggunakan logika deduktif, sementara Ahnaf cenderung memilih pendekatan induktif. Dalam nomenklatur hukum barat, aliran rasionalisme juga berseberangan dengan positivism dan memilih pendekatan logika deduktif-logis sebagaiman digunakan kalangan mutakallimin dalam hukum Islam. Faktanya, kalangan mutakallimin dan ahnaf lebih mendasarkan pendekatan logika yang digunakan atas teoretisasi hukum Islam.
Maksudnya, jika kalangan mutakallimin mendeduksi teori hukum Islam (kaidah ushul fiqh) menjadi postulat-postulat hukum operasional maka kalangan ahnaf sebaliknya, yakni menginduksi kasus hukum yang terjadi di masyarakat menjadi teori-teori hokum yang kemudian dilestarikan oleh pengikutnya hingga sekarang. Dalam hukum Islam, pendekatan logika digunakan untuk melengkapi dalil-dalil wahyu yang sering mengungkapkan persoalan secara abstrak. Sebab, sejatinya setiap hukum yang melekat pada berbagai peristiwa dan kejadian mempunyai pijakan dalil berupa wahyu. Namun demikian, tidak semua pijakan wahyu dapat tergambarkan secara
tersurat dalam lembaran teks al-Qur’an maupun al-Hadith. Sebaliknya, tidak terkira jumlahnya pijakan wahyu yang hanya mengungkapkan persoalan hukum secara tersirat. Atas dasar itu maka dalil wahyu sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a.       Dalil juz’i / tafshili , yaitu dalil-dalil terperinci berupa teks wahyu yang menunjukkan hukum-hukum tertentu secara tersurat. Seperti teks wahyu yang dengan lugas menunjukkan hukum wajib melakukan shalat fardu, puasa ramadhan, haram berbuat zina, mencuri, mengalirkan darah sesamanya dan lain-lain.
b.      Dalil kulli / ijmali, yaitu dalil global yang tidak menunjukkan ketentuan-ketentuan hukum tertentu secara tersurat,tetapi cukup secara tersirat berupa indikator-indikator. Seperti teks hadith yang berbunyi:
Artinya: Tidak boleh melakukan kemudaratan (HR Imam Ibnu Majah).
Hadith ini tidak secara tersurat menunjukkan hukum haram terhadap peristiwa tertentu. Sebaliknya, tidak sedikit jumlah peristiwa yang ketentuan hukumnya dilandaskan pada hadith ini. Seperti keharaman mengonsumsi narkoba serta perbuatan-perbuatan lain yang dapat mumudaratkan diri sendiri maupun orang lain.
Sungguhpun jenis dalil pertama (juz’i) jelas merupakan acuan hukum, namun bukan berarti jenis dalil kedua (kulli) sama sekali tidak bersentuhan dengan proses pembentukan hukum. Ojek pembahasan ushul fiqh sebagai metodologi istinbath hukum adalah justeru berkaitan dengan dalil-dalil yang bersifat kulli ini untuk membuat rumusan kaidah-kaidah yang mempunyai fungsi memudahkan proses istinbath atau penggalian hukum-hukum operasional. Dengan ungkapan lain, kaidahkaidah ushuliyyah yang sangat dibutuhkan Mujtahid dalam kerja akademiknya untuk menggali hukum-hukum operasional bisa disebut juga sebagai dalil kulli karena ia dibangun berdasarkan dalil-dalil wahyu yang mengungkapkan secara umum dan garis besar serta dipadukan dengan unsur logika aksioma.
Karena itu dalil kulli dan juz’i dalam konteks penggalian dan perumusan hukumhukum mempunyai hubungan sangat erat dan hampir tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Artinya, dalam rangkaian kerja istinbath al-ahkam (penggalian hukumhukum) selain diperlukan dali-dalil juz’i yang tersurat dalam teks wahyu, juga tidak bisa mengabaikan dalil-dalil kulli baik berupa prinsip-prinsip umum seperti tersirat dalam kandungan teks wahyu maupun kaidah-kaidah ushuliyyah yang sebenarnya juga dikreasi dan diadopsi dari kandungan teks wahyu. Seperti kaidah yang mengatakan bahwa hukum asal dari teks yang berisi perintah adalah wajib; hokum asal dari larangan dalam sebuah teks adalah haram; lafadz umum berlakubkeumumannya selama tidak dijumpai pengkhususan dalam teks lain; dan lain-lain.
Di luar proses pembentukannya, hukum sesungguhnya dikreasi bukan untuk dirinya melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar di luar dirinya. Pretensi hukum hanyalah untuk menebar keadilan dan kesejahteraan ummat manusia. Lantaran itu, hukum bukanlah institusi yang absolut dan final melainkan bergantung pada manusia sebagai user. Dalam konteks ini, hukum sangat ditentukan oleh faktor manusia dalam melihat dan menggunakannya. Dalam nomenklatur hukum barat, adalah madzhab sociological jurisprudence yang berbagi paham dengan legal realism banyak mengapresiasi hukum dengan pendekatan progresif-dinamis seperti ini. Sementara dalam hukum Islam pendekatan seperti ini direpresentasikan oleh madzhab mashlahi, yakni aliran hukum yang mengedepankan aspek kemaslahatan ketimbang formalitas teks secara legal-prosedural. Dengan pendekatan seperti ini, institusi hukum terus bergerak dinamis membangun dan mengubah dirinya menuju tingkat kesempurnaan yang lebih baik sesuai cita-cita luhurnya menebar keadilan dan kemaslahatan. Hukum, dengan demikian, tidak semata bergerak di atas aras formal-positivistik, melainkan mengarah pada aras sosiologis sesuai tingkat perkembangan dan perubahan masyarakat.
Penutup
Dari hasil penelitian beserta pembahasan yang telah dilakukan menyangkut paradigma pemikiran hukum Islam dan positivisme barat dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, munculnya paradigma tradisionalisme dan rasionalisme hukum Islam tidak bisa lepas dari kegelisahan akademik menyangkut materi perdebatan jurisprudensi Islam. Terbatasnya jumlah teks wahyu dibanding jumlah peristiwa hukum yang terus mengemuka menyebabkan terjadinya pengkutuban pemikiran dalam jurisprudensi Islam. Kalangan tradisionalisme cenderung mempertahankan tradisi yang sudah melembaga menjadi acuan formal dalam aktivitas penggalian hukum. Madzhab ini dimotori oleh Imam Malik bin Anas yang berpusat di Hijaz. Sebaliknya, kalangan rasionalisme mengedepankan penggunaan akal-budi yang saat itu sering disimplifikasi menjadi qiyas (analogi) dalam rangkaian proses istinbath hukum. Ketokohan madzhab ini sering dinisbatkan pada Imam Abu Hanifah yang berpusat di Baghdad. Al-Syafi’i tampil yang mempunyai kesempatan berinteraksi dengan dua kalangan di atas tampil moderat dengan mengapresiasi tradisi dan rasio secara berimbang dan proporsional.
Kedua, dalam kajian hukum barat ditemukan dua aliran pemikiran, yaitu normativisme (tradisionalisme) yang mendasarkan ketentuan hukum pada pandangan normatif dan positivisme (empirisme) yang selalu bertumpu pada fakta dan pengalaman empirik. Penentangan terhadap kedua aliran ini muncul dari kalangan rasionalisme yang mengatakan bahwa ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logis. Menurut pandangan rasionalisme, realitas dapat diketahui atau beberapa kebenaran tentang realitas dapat diketahui tanpa bergantung pada pengamatan, pengalaman, dan penggunaan metode empiris. Kebenaran tidak perlu diuji dengan prosedur verifikasi indrawi, tetapi dengan kriteria konsistensi logis. Bagi kalangan ini, substansi norma dan pengalaman empiric tidak mempunyai signifikansi apa pun tanpa ketajaman dalam pemaknaan keduanya.
Pada ujungnya, artikulasi norma, empirisme dan ketajaman rasio merupakan sesuatu yang niscaya dalam mekanisme pembentukan hukum. Pemahaman intelektual dan kemampuan argumentatif perlu didukung selain oleh norma-norma juga data-data empiris yang relevan agar produk hukum betul-betul mempunyai dimensi ilmu, bukan fiksi.
Ketiga, paham positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum. Hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang telah mengalami positivisasi guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum.
Hukum Islam memandang keduanya sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Sebagai perangkat aturan, hukum tidak bisa berdiri sendiri dalam pergumulannya dengan masyarakat. Sebaliknya, ia perlu disandingkan dengan moralitas yang dalam terminologi agama sering disebut tashawwuf atau akhlaq karimah. Perbedaan pandangan seperti ini berimplikasi pada kaitan hukum dengan pranata sosial sebagai subjeknya. Dalam konteks ini, jika hukum bersentuhan dengan moralitas maka substansi hokum tidak bersifat absolut dan final melainkan bergantung pada aspek kemaslahatan sebagai muaranya. Intinya, hukum dikreasi bukan untuk dirinya melainkan untuk menebar keadilan dan kemaslahatan ummat manusia.

Related Posts :

0 Response to "Perbedaan Antara Hukum Islam dan Hukum Barat"

Posting Komentar