Asas Asas Hukum Kewarisan Islam

          Hukum kewarisan Islam adalah hokum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.hukum kewarisan Islam disebut juga hokum faraaid, jamak dari kata fariida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan. Sumbernya adalah al-Qur’an, terutama surat an-Nisa’ (4) atay 11,12,176 dan, al-Hadits yang memuat  Sunnah Rasulullah yang kemudian dikembangkan secara rinci oleh ahli hokum fiqh islam melalui ijtihad orang yang memenuhi syarat, sesuai dengan ruang dan waktu, situasi dan kondisi tempat berijtihad. Sebagai hokum yang bersumber dari wahyu Ilahi yang disampaikan dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sunnahnya, hokum kewarisan islam mengandung asas-asas yang diantaranya terdapat juga dalam hokum kewarisan buatan akal manusia di suatu daerah atau tempat tertentu. Namun karena sifatnya yang sui generis (berbeda dalam jenisnya), hokum kewarisan Islam mempunyai corak tersendiri. Ia merupakan bagian agama islam dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan  dari iman atau akidah seorang muslim. [1]
          Kalau sumber hokum Islam (al-Qur’an dan al-Hadits) dan kompilasi hokum Islam di perhatikan, maka dapat di salurkan dan diuraikan 5 (lima) asas hokum kewarisan Islam, yaitu
1. Ijbari,
2. Bilateral,
3. Individual,
4. Keadilan berimbang, dan
5. Akibat kematian.
1) Ijbari
Asas ijbari yang terdapat dalam hokum kewarisan Islam mengandung arti bahwa pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.
Asas ijbari hokum kewaris Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu
(1)   Dari pengalihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dari al-Qur’an surah an-Nisaa’ (4)ayat 7.
(2)   Demikian juga bila unsure ijbari dilihat segi jumlah harta yang sudah di tentukan bagi masing-masing ahli waris. Hal ini tercermin dalam kata mafrudan yang makna asalnya adalah ditentukan atau diperhitungkan.
(3)   Ddan bila ijbari dilihat dari kepastian penerima harta peninggalan, yakni mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dan ikatan perkawinan dengan pewaris seperti yang dirinci oleh Allah dalam al-Qur’an surah an-Nisaa’(4) ayat 11,12,176, dan 33.
2)  Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hokum kewarisan berarti seorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak; dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas kebilateralan itu mempunyai dua dimensi saling mewarisi dalam al-Qur’an surah an-Nisaa’ (4) ayat 7, 11,12, dan 176, yaitu (1) antara anak dengan orang tuanya, dan (2) antara orang yang bersaudara bila pewaris tidak pempunyai anak dan orang tua
3)  Asas Individual
Asas Individual dalam hokum kewarisan Islam berarti harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Oleh karena itu, bila setiap ahli waris berhakatas bagian yang di dapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain berarti mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban (ahliyat al-ada).
4)  Asas Keadilan Berimbang
Asas Keadila Berimabang dalam hokum kewarisan Islam berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dalam keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban. Perkataan adil banyak disebut dalam al-Qur’an yang kedudukannya sangat penting dalam system hokum Islam , termasuk hokum kewarisan. Di dalam system ajaran agama Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses dan tujuan segala tindakan manusia.
5)  Asas Akibat Kematian
Asas akibat kematian dalam hokum kewarisan Islam berarti kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang. Oleh karena itu pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain selama orang mempunyai harta itu masih hidup. Demikian juga, segala bentuk pengalihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudang meninggalnya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hokum Islam.
Kalau hokum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja, yaitu kewarisan sebagai akibat dari meninggalnya seseorang atau disebut dalam hokum kewarisan Perdata Barat kewarisan ab intestate atau kewarisan karena kematian atau kewarisan menurut undang-undang, maka hokum kewarisan Islam tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat atau kewarisan karena diangkat atau ditunjuk dengan surat wasiat yang dilakukan seseorang pada waktu ia masih hidup, yang disebut dengan hokum Perdata Barat dengan istilah kewarisan secara testamen.
Asas akibat kematian seseorang mempunyai kaitan dengan asas ijbari yang sudah di sebutkan, yakni seseorang tidak sekehendaknya saja menentukan penggunaan hartanya setelah ia meninggal kelak. Melalui wasiat, menurut hokum Islam, dalam batas-batas tertentu, seseorang memang dapat menentukan pemanfaatan harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia, tetapi wasiat itu merupakan ketentuan tersendiri terpisah dari ketentuan hokum kewarisan Islam.[2]
A.    SEBAB-SEBAB ADA DAN HILANGNYA HAK SERTA SYARA-SYARAT HOKUM KEWARISAN ISLAM
a.  sebab-sebab adanya hak kewarisan dalam islam
Kalau dianalisis penyebab adanya hak untuk mewarisi harta seseorang yang telah meninggal dunia menurut al-Qur’an, hadits Rasulullah dan kompilasi hukum Islam, ditemukan dua penyebab, yaitu (1) hubungan kekerabatan (nasab), dan (2) hubungan perkawinan.[3] Kedua bentuk hubungan itu adalah sebagai berikut
1. Hubungan Kekerabatan
Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan oleh adanya hubungan darah dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat adanya kelahiran. Jika seorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat diingkari oleh siapapun karena setiap anak yang lahir dari rahim ibunya sehingga berlaku hubungan kekerabatan secara alamiah antara seorang anak dengan seorang ibu yang melahirkannya. Sebaliknya, bila diketahui hubungan ibu dengan anaknya maka dicari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu melahirkan. Jika dapat dibuktikan secara hokum melalui perkawinan yang sah penyebab si ibu melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku pula antara si anak yang lahir dengan si ayah yang melahirkannya.[4]
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayah ditentukan oleh adanya akad nikah yang syah antara ibu dengan ayah (penyebab ibu hamil dan melahirkan). Hal diketahui melalui hadits Rasulullah yang di riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa seorang anak di hubungkan kepada laki-laki yang secara syah menggauli ibunya.[5]
Dengan mengetahui hubungan kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan hubungan kekerabatan antara anak dan ayahnya, dapat pula diketahui hubungan kekerabatan keatas yaitu kepada ayah atau ibu dan seterusnya, kebawah, kepada anak beserta keturunannya, dan hubungan kekerabatan kesamping, kepada saudara beserta keturunannya. Dari hubungan kerabat yang demikian, dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisannya.[6]
Hubunga kerabat tersebut, bila dianalisis pengelompokannya sebagai ahli waris, perlu diungkapkan pendapat Hazairin yang mengelompokannya kedalam 3 (tiga) kelompok ahli waris, yaitu, (1) dzawul faraid, (2)  dzawul qarabat, dan (3) mawali. Demikian pula pendapat Ahlussunah yang mengelompokkannya menjadi 3 (tiga) kelompok ahli waris, yaitu (1) dzawul faraid (2) ‘ashabah dan (3) dzawul arham.[7] Kedua pendapat itu, akan diuraikan pada pembahasan penggolongan ahli waris dan contoh pembagian harta warisan pada subpokok pembahasan 4 (empat).[8]
2. Hubungan Perkawinan
Kalau hubungan perkawinan, dalam kaitannya dengan hokum kewarisan Islam, berarti hubungan perkawinan yang syah menurut hokum Islam. Apabila seorang Suami meninggal dan meninggalkan harta warisan dan janda, maka janda itu termasuk ahli warisnya demikian pula sebaliknya.[9]


[1] H. Mohammad Daud Ali. HUKUM ISLAM. (Jakarta: Raja GrafindoPersada. 2011). Hlm. 313-314
[2] H. Zainuddin Ali. Hukum Perdata ISLAM di Indonesia.(Jakarta: Sinar Grafika. 2009). Hlm.121-126.
[3] H. Abd. Rahman, kompilasi hokum islam di Indonesia, (Jakarta:Akademika pressindo, 1992), hlm. 157.
[4] H. Umar Syihab, Hukum Kewarisan Islam dan Pelaksanaannya di wajo  disertasi doctor Universitas Hasanuddin, makasar, 1988, hlm. 84.
[5]  N.J. Coulson, History of Islamic Law,  (Edincurght: University press,1971), hlm. 23.
[6]  Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Masyarakat adat minangkabau, (Jakarta: gunung agung, 1984), hlm. 42.
[7] H. Moh. Djafar. “polemic antara prof. Dr. Hazairin dan para pengkritiknya mengenai hokum kewarisan bilateral menurut al-Qur’an dan hadits: suatu studi perbandingan”. Disertasi doctor IAIN Syarif hidayatullah, Jakarta, 1993, hlm. 111.
[8]  H. Zainuddin Ali, HUkum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 112.
[9] H. Umar Syihab. Op cit, hlm. 83.

Related Posts :

0 Response to "Asas Asas Hukum Kewarisan Islam"

Posting Komentar