BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dipandang dari sudut ekonomi letak
kepulauan Indonesia sangat strategis, karena letak geografi yang memungkinkannya menjadi pusat lalu lintas internasiona. Pelayaran
antara Asia dan Australia, antara Asia Timur- Tenggara dan Selatan-Barat-Afrika
Timur harus melalui Kepulauan Indonesia. Lalu lintas tidak dapat dipisahkan
dari perdagangan. Dan perdagangan harus ada karena tidak ada satu Negara pun
yang dapat memproduksi sendiri seluruh kebutuhannya. Usaha-usaha disegala
bidang yang sekarang dilaksanakan sekarang akan terus memperbesar perana
kepulauan Indonesia dalam kegiatan lalu lintas dan perdagangan internasional.
Dalam kegiatan lalu lintas
internasional itu , pelabuhan-pelabuhan Indonesia terutama Jakarta merupakan
tempat singgah untuk memuat/ memunggah berbagai barang dagang. Kedudukan pulau
Indonesia bertambah penting karena kekayaannya akan berbagai pelican dean hasil
bumi yang sangat diperlukan dunia,seperti minyak bumi, Timah Putih, Bauksit,
Karet, Tembakau, dan Teh.
Sumatera merupakan pulau besar di
Indonesia bagian barat yang terdekat letaknya dengan daratan Asia Tenggara.
Diantara Sumatera dan Semenanjung Melayu, suatu Jazirah yang merupakan bagian
dari daratan Asia Tenggara, Hanya terdapat selat yang tidak begitu lebar, yaitu
selat Malaka. Kedudukan Geografis ini merupakan factor yang penting sejarahnya
yang dialami oleh pulau ini.
Hubungan antara Sriwijaya dengan
negeri diluar Indonesia bukan hanya dengan China. Sebuah Prasasti raja Dewapaladewa
dari Bengala, yang dibuat pada akhir abad IX menyebutkan sebuah Biara yang
dibuat atas perintah Balaputradewa, maharaja dari Suwarnadwipa. Prasasti ini
dikenal dengan sebutan prasasti Nalanda.
Berbeda dengan hubungan luar negeri
kerajaan-kerajaan lain di Indonesia, jelas sekali bahwa hubungan luar negeri
Sriwijaya lebih aktif sifatnya. Bukan hanya
di India Sriwijaya menaruh minat pada pembangunan agam, tetapi juga dinegeri
China.
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan Perdagangan Indonesia Dengan Luar
Sejak jaman Prasejarah, Penduduk
Indonesia adalah pelayar-pelayar yang sanggup mengaringi lautan lepas. Lautan
disekitar dan diantara pulau-pulau Indonesia tidak pernah menjadi penghalang.
Bahkan menjadi pemersatu, hubungan dengan daerah pedalaman lebih sulit dari
pada hubungan antar pulau. Pada awal sejarah kuno Indonesia kita melihat
tumbuhnya pusat-pusat perdagangan dibeberapa tempat dipesisir Jawa dan
Sumatera.
Berdasarkan penelitian
prasejarah,kita dapat mengetahui adanya peninggalan benda-benda prasejarah yag
mengandung cirri-ciri yang menunjukan adanya hubungan antara kepulauan
Indonesia degan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Khususnya Nekara
Perunngguyang telah menjadi sasaran penelitian ahli.
J.C. Van Leur dan O.W. Wolters
berpendapat bahwa hubungan dagang antara India dan Indonesia lebih dahulu
berkembangdari pada hubungan dagang antara Indonesia dan China. Ada pendapat
bahwa perluasan pelayaran perdagangan kearah Timur India di sebabkan karena diketahuinya
Angin musim yang baik untuk berlayar menyebrangi Samudera India ke timur dan
sebaliknya. Menurut kisahnya, seoramng nahkoda yang bernama Hippalos adalah
“orang Barat” pertama yang menemukannya. Penduduk setempat sudah tentu
mengetahui sebelumnya[1]. Sebelum
penemuan tersebut, kapal-kapal menyusuri pantai dalam pelayaran mereka ke
Timur. Pengetahuan mengenai arah angin padxa abad-abad 1M. Bertepatan pula
dengan mulai dibuatnya kapal-kapal yang cukup besar untuk pelayaran jarak jauh.
Dalam usaha mengungkapkan hubungan
dagang antara Indonesia dan India di jaman kuno, kita berpangkal pada
pengertian bahwa Indonesia merupakan bagian dari suatu kesatuan wilayah.
Kesatuan wilayah itu ialah Asia Tenggara. Dalam kesatuan wilayah tersebut ialah
telah tumbuh budaya yang jelas memperlihatkan cirri-ciri persamaan. Dan
pertumbuhan budaya ini telah berlangsung sejak berabad-berabad sebelum masa
terjadinya hubungan dagang dengan Indiayang telah disinggung dimuka.Kegiatan
perdagangan dengan India ke Asia Tenggara bukan lagi merupakan suatu kegiatan
hubungan pertukaran barang antara masyarakat yang bertetangga tetapi merupakan
bagian dari pola perdagangan yang telah beberapa berkembang menjadi salah satu
kegiatan perdagangan Internasional. Suatu kekuatan perdagangan yang telah
menumbuhkan suatu pranata perdagangan yang mantap seperti India inilah yang
dapat mengembangkan potensi Asia Tenggara hingga daerah itu kemudian mengalami
perkembangan dalam segala bidang.
Hubungan Dagang Dengan India dan China
Dalam perdagangan ini tidak hanya
digunakan perahu kecil yang menyusuri pantai tetapi juga kapal-kapal kayu yang
berukuran berates ton dan dapat memuat penumpanng sampai dua ratus orang[2],
dapat diduga bahwa perdagangan dengan India bertumpu pada pola-pola
perdaganngan regional yang telah lama berkembang. Kalau pada mulanya munngkin
perdagangan itu terpusat pada tempat-tempat tertentu yang letaknya lebih
langsung pada jalur perdagangan atau sudah dikenal sebelumnya , maka dalam
waktu relative singkat seluru Asia Tenggara telah terlibat langsung atau tidak
langsung dengan perdagangan itu.
Yang diperdagangkan antara pedagang-pedagang Indonesia dan India
selain emas yaitu kayu Gaharu dan kayu Cendana berasal dari negeri
asing. Mungkin dari Asia Tenggara, yang jelas ialah bahwa kayu Gaharu Indonesia
tidak pernah bahan ekspor yang terkenal yang lebih terkenal adalah kayu Cendana
dari wilayah Timur Indonesia. Rupa0rupa kayu Cendana itu dikumpulkan oleh para
pedagang Indonesia di pusat-pusat perdagangan dengan India di Indonesia bagian
barat dan kemudian diperdagangkan ke India.[3]
Cengkeh yang kemudian menjadi salah satu hasil kepulauan Indonesia Timur yang
mahsyur sudah pula menjadi bahan dagangan yang dicari oleh para pedagang India.
Lada yang berabad-abad kemudian
merupakan salah satu hasil utama Indonesia untuk pasaran Internasional, pada
masa awal hubungan dagang dengan India tidak begitu penting kedudukannya karena
orang India sendiri adalah penanam dan penghasil lada yang ulung. Awal
peningkatan hubungan daganng antara India dan Indonesia yang tidak dapat
dinyatakan dengan angka tahun yang pasti, mungkin dengan kurun waktu masa
perluasan kekuasaan kerajaan China ke daerah Tongkin di Vietnam. Perluasan
kekuasaan di dinasti Chin dan Han terjadi mulai akhir abad 11 sebelum Masehi.
Suatu hal yang penting dalam
hubungan dagang antara Indonesia dan China ialah adanya hubungan pelayaran
langsung antara kedua tempat tersebut, Hubungan pelayaran itu merupakan bagian
dari hubungan pelayaran antara Asia Barat denngan China, tetapi juga merupakan hubungan
tersendiri antara Indonesia dan China.
Menurut Wolters, bukti-bukti
menunjukan bahwa pelayaran niaga melintasi laut China Selatan untuk pertama
kalinya terjadi atara abad ke III M. dan abad V M. Tetapi bukti yang pasti
mengenai pelayaran Indonesia dan China berasal dari abad V M. Keadaan pelayaran
itu dapat disimpulkan dari perjalanan dua orang pendeta agama Budha, yaitu Fa Hsien dan Gunavarman.[4]
Bahwa bangsa Indonesia adalah sejak
jaman Prasejarah telah mampu mengarungi lautan telah diaki oleh para peneliti.
Tetapi hubungan laut ke China bukan sekedar masalah pelayaran. Hubungan itu
adalah bukan sekedar dari suatu perdagangan maritim yang bersifat
Internasional, oleh karenanya untuk dapat mengetahui/ menyertai kegiatan
tersebut bekal yang hanya berupa kemampuan melayari Samudera tidak cukup. Maka
jika ternyata ahwa Bangsa Indonesia telah menyertai kegiatan pelauaran ke
China, hal itu berarti bahwa bangsa Indonesia telah mampu membawa
perdagangannya ke China.
Pengalaman perdagangan Internasional
bangsa Indonesia dimulai dengan hubungan perdagangan dengan Indi. Hubunngan
dagang ini memberikan kesempatan pada bangsa Indonesia untuk mendapatkan
kemahiran-kemahiran tertentu yang diperlukan agar dapat berhadapan dengan para
pedagang-pedaganng asing dengan taraf yang sama. Golongan yang berdagang dengan
orang-orang asing harus mampu menunjukan dan menumbuhkan organisasi perdagangan
dan politik yang dapat menjamin
kelancaran dan kelanggengan hubungan dagang itu.
Dari berita-berita China mengenai
dua kerajaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pada abad V M bangsa
Indonesia telah memasuki perdagangan dengan China. Barang –barang yang diperjual
belikan dari Asia Barat, maka para pedagang Indonesia harus dapat menyediakan
barang dagangan yang mampu menyamai kedudukan barang-barang Asia Baratdalam
penilaian orang China. Barang dagangan itu haruslah barang bernilai tinggi
untuk konsumsi kalangan atas yaitu bahan wangi-wangian dari Asia Barat deapat
disaingi dengan barang yang di hasilkan dari Indonesia. Misalnya berbagai jenis
kemenyan dan kayu harum seperti Cendana bahkan kapur Barus lebih dahulu dikenal
umum untuk bangsa-bangsa yang berasal dari daerah lautan Selatan yaitu
bangsa-bangsa Asia Tenggara pada umumnya. Demikian pula berbagai jenis
rempah-rempah lambat laun memasuki pasaran China.
Keberhasilan bangsa Indonesia untuk
memasuki pasaran perdagangan luar negeri China adalah suatu tonggak sejarah
bagi bangsa Indonesia. Hal itu merupakan suatu tahap nyata dalam perkembangan
masyarakat Indonesia yang telah dimulai saat bangsa Indonesia berhubungan
dagang dengan orang India.
Setelah bangsa Indonesia berdagang
langsung dengan China, maka ia mendapatkan kedudukannya sendiri dala
perdagangan Internasional. Kapal Indonesia melayari jalur pelayaran dari India
sampai ke Chin. Pada abad ke VII M. I-tsing seorang pendeta Budha dari
China bertolak ke India dari Indonesia dengan menumpang kapal Sriwijaya.
Hubungan dagang dengan India dan
China telah menempatkan Indonesia di gelaggang perdagangan Internasional jaman
kuno, tetapi penngaruh India dan China pada perkembangan sejarah Indonesia di
jaman kuno berbeda. Hubungan dagang dengan India telah menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan dalam bentuk tata Negara di sebagian daerah di Indonesia.
Selain itu telah terjadi perrubahan dalam tata dan susunan masyarakatnya
sebagai akibat penyebaran agama Hindu dan Budha. Pengaruh hubugan dengan China
jauh lebih kecil.
Yang jelas ialah bahwa hubungan
dagang dengan China nyata selalu melibatkan penguasa di China. Sedang hubungan
dagang dengan India lebih tampak sebagai hubungan antara pedagang walaupun
tentu juga melibatkan pihak penguasa sesuai dengan pola jaman itu.
Pola Dan Sistem Perdagangan
1.
Pemilik Modal Pelayaran Dan Perdagangan
Menurut Tome Pires, raja-raja
Pahang, Kampar dan Indragiri mempunyai kantor dagang di Malaka, sekalipun pada
umumnya peran mereka pasif. Rupanya raja-raja ini sendiri tidak memiliki kapal.
Melalui perwakilannya di Malaka mereka mempunyai saham dala kapal yang berlayar
dan perahu yang berklayar dari Malaka, system Partnership demikian juga
dikenal di Eropa pada jaman dahuku disebut Commenda berlaku dalam
sebagian besar perdagangan disini kecuali sang raja pembesar-pembesar negeri
lainnya pun turut megadu untung dalam berbagai usaha perdagangan dan pelayaran.
Untuk membuat kapal besar dan untuk
mengisi ruangan kapal penuh dengan barang dagangan sudah barang tentu diperlukan
modal yang tidak sedikit. Oleh sebab itu peranan raja dan pembesar kerajaan
untuk menginvestasikan sebagian hartanya dalam perdagangan dan pelayaran
sangatlah penting. Mereka inilah yang menghimpun modal untuk memperlengkapi
kapal dan muatannya. Disamping itu ada kapal-kapal Malaka yang menjadi milik
penuh dari Sultan dan dalam hal ini perdagangan dijalankan oleh seorang Sultan
kadang-kadang tugas ini diserahkan kepada nahkoda kapalnya. Menurut Pires pada
setiapm yang akan berangkat dari Malaka ada barang dari Sultan.[5] Mungkin
berita ini agak berlebihan tetapi Sultan Malaka pernah mencarter kapal untuk
mengangkut barang dagangannya, keuntunngan dari perdagangan ini tidaklah
sedikit, apalagi Sultan mendapat prioritas dalam pembagian ruang untuk barang
dagangannya.
A.
Commenda
Kita kutip lagi catatan Loddewycksz
tentang keadaan Banten pada tahun 1596 :
“Para pedagang yang kaya pada umumnya tinggal dirumah, bila mana
ada kapal yang mau berangkat, mereka menyerahkan sejumlah uang kepada
orang-orangyang akan berlayar dengan maksud bahwa uang ini akan dikembalikan
nanti dua kali lipat, menurut perjannjian yang mereka buat (………..wer van zy
obligatie maken”). Jumlah uangnya kurang lebih sesuai dengan lama dan
jauhnya perjalanan. Akan tetapi jika peminjam uang tidak sanggup membayarnya
kembali karena suatu kemalangan, maka ia harus memberikan istri dan anaknya
sebagai jaminan sampai utangnya telah lunas, kecuali apabila kapalnya karam,
dalam hal ini pemilik modal kehilangan uang yang dipinjamkannya.[6]
Jadi sang raja,
Bendahara, Tumenggung, dan orang kaya bukanlah saudagar dalam arti yang
sebenarnya. Mereka berdagangdalam bentuk Commenda, yakni menyerahkan
barang daganngan kepada orang lain untuk diperdagangkan, ataupun hanya member
uang modal. Seperti tuan tanah yang menyewa sawah ladangnya kepada petani atas
bagi hasil, demikian pula para hartawan menyerahkan dagangannya (Rempah-rempah,
kain tenunan dan sebagainya) kepada saudagar dengan perjanjian bagi-laba
menurut ketentuan yang berlaku setempat (presentasi laba yang dibagikan bias
berbeda). Juga dealam hal pelayaran, apabila pemilik kapal adalah Raja atau
pembesar-pembesar, system bagi laba juga dipakai. Tetapi nahkoda memiliki
kapal, bersama-sama raja, bendahara dan lain-lain. Maka masing-masing menerima
keuntungan sesuaoi dengan saham yang dimiliki, sedangkan nahkoda mendapatkan
presentase khusus, menurut keutungan yang berlaku.
B.
Samantula
Menurut peraturan yang berlaku di
Sulawesi Selatan pada abad ke 17 seperti yang telah dikodifikasikan oleh Amanna
Gappa dan telah disetujui oleh seluruh kepala orang Wajo pada waktu mereka
mengadakan pertemuan di Ujung Pandang (Makassar) tentu peraturan ini telah
dikenal pada masa sebelumnya, tetapi pada Zaman Amanna Gappa dirasakan
kebutuhan untuk menerbitkan dalam satu buku undang-undang, yang masih berlaku
pada tahun 1930-an diadakan pembedaan dalam lima jenis cara berjualan.[7]
Yakni menurut pasal ke-7. “………….berkongsi sama banyak …….”Samatula,
“hutang kembali” dan kalula. Yang dimaksud dengan berkongsi sama
banyak ialah cara berdagang dengan menanggung resiko sama-sama, memikul bersama
keuntungan atau kerugian.”
Tetapi kerugian yang dipikul bersama
hanya sebatas pada tiga hal, yaitu, apabila barangnya rusak dilautan, dimakan
api, atau kecurian[8].
Sedangkan yang tidak dipikul bersama (ditanggung oleh pelaksana perdagangan)
diperinci sebagai berikut :
Pertama :
Dijudikan
Kedua : Diperlacurkan
Ketiga : Dipergunakan beristri
Keempat:
Diboroskan
Kelima : Dipinjamkan
Keenam
:Dimandatkan
Ketujuh
:Diberikan untuk makan kepada (yang menjadi) tanggunganya.
Jenis kontrak yang disebut Samatula
menetapkan bahwa dalam hal kerugian maka yang empunya barang jualan yang
menanggung. Hanya kalau bukan cara berjualan yang dilakukannya sehingga rusak
maka sipembawa jualanlah yang menanggungnya. Jadi, dalam hal ini resiko yang
terbesar berada dipihak empunya barang. Tetapi jikalau mendapat untung, dua
pertiga laba jatuh ketangannya, sedangkan sepertiga diberikan kepada si pembawa.
C.
Kalula
Perjanjian jenis ke-5 yang disebut Kalula, dinamakan pula
anak guru. Dalam halm ini perdagangan diserahkan kepada orang yang sudah
dipercayai benar oleh si pemilik barang. Kalula tidak mungkin bercerai dari
pemilik barang yang sudah dianggap sebagai atasannya. Hubungan antara kedua
orang ini adalah hubungan khusus, sehingga dalam cara membuat perjanjian ini
maka “dia dan keluarganya tidak menanggung kerusakan jualan,akan tetapi hanya menunggu
belas kasihan semata. “Jikalau Rusak karena kesalahan sendiri, Kalula sendiri
yag harus menanggung utang,”………tidak sampai pada keluarganya……..”(pasal 18).
Oleh sebab itu yang dijadikan kalula hanyalah orang yang merdeka, bukan dari
golongan budak. Yang disebut anak guru adalah orang yang diikutsertakan
dalam suatu perjanjian dan bertugas sebagai pesuruh.
Megenai bayar membayar utang-piutang termasuk membayar laba, dalam
pasal 17 dijelaskan bahwa jikalau dipinjam dalam bentuk uang, uang harus
dibayarkan. Kalau yang dijualkan barang dagangan maka haruslah dibayar dalam
bentuk barang daganngan pula.
“Jikalau uang yang dipinjam dan jualan yang dibayarkan, maka itu
atas putusan orang penengah yang menaksir harga barang itu. Jikalau jualan yang
dipinjam yang uang dibayarkan, maka itu tergantung pada persetujuan mereka.”[9]
2.
Sistem Pemungutan Bea Cukai
Bagi kerajaan-kerajaan Maritim Indonesia pelabuhan merupakan pintu
gerbang barang-barang ekspor-impor. Disini arus ekspor dan Impor dapat diawasi
dan dikenakan bea masuk seperlunya. Oleh sebab itu pelabuhan merupakan
penghasilan yang amat penting bagi kerajaan.
Juga mengenai pemungutan bea cukai Tome Pires lebih banyak member
keterangan tentang Malaka dari pada pelabughan lain. Para pedagang yang baru
saja tiba di Malaka harus membayar bea cukai lebih dahulu sebelum ia
diperbolehkan menjual barang dagangannya. Jumlah yang harus dibayar tergantung
pada ukuran dan timbangannya, oleh sebab itu, barang-barangnya harus ditimbang
terlebih dahulu berdasarkan timbangan yang berlaku di Malaka. Ada tarif
tersendiri untuk jenis masing-masing barang, sedangkan jumlahnya berbeda-beda
menurut negeri asal.
Bea Impor untuk barang-barang yang datang dari negeri diatas angin
(Arab, India,Srilanka, bagi Siam ada pengeculian) adalah 6%. Apabila barang
yang didatanngkan adalah barang makanan ditempat ini, maka mereka dibebaskan
dari bea 6% tapi diwajibkan untuk membawa persembahan. Untuk barang-barang lain
kewajiban membayar 6% tetap harus dipenuhi. Hal demikian tetap berlaku bagi
dagagan dari negeri-negeri di Semenanjung Barat Melayu dan di Sebelah Timur
Tenasserim juga bagi negeri-negeri Utara Sumatera (Pasai dan Pidie), dengan
kata lain semua negeri yang merupakan daerah Supply makanan bagi Malaka.
Selain membayar bea Cukai, pedagang-pedagang harus membayar pula
barang persembahan utuk raja, Bendahara, Tumenggung, dan Syahbandar yang
membawahinya. Keseluruhan persembahan ini berjumlah 1% atau 2% dari nilai
barang yang dimasukan, besarnya ditetapkan oleh Syahbandar yang bersangkutan.
Peraturan ini sangat baik karena pada umumnya Syahbandar dari suatu negeri
tertentu tidak akan menuntut jumlah yang berlebih-lebihan dari pedagang
senegerinya.Namun pedagang adakalanya member sejumlah yag lebih yangdiharuskan,
agar Syahbandar bisa membujuk raja dan
pegawai-pegawainya supaya perdagangannya lebih berhasil. Kalau mau menetap di
Malaka pedagang-pedagang disebelah Barat, termasuk orang Melayu harus membayar
pajak 3%, disamping itu mereka harus membayar pajak kerajaan 6% (3% untuk orang Melayu)[10]
Untuk menghindari tuntutan pajak yang dipungut oleh pegawai-pegawai
rendahan, kapal-kapal yang datang dari
sebelah Barat ini biasanya menggunakan jalan yang lain. Dengan pembayaran ini
maka kewajiban telah terpenuhi karena dengan 6% tersebut telah diperhitungkan
pula persembahan yang harus diberikan.
Bagi negeri-negeri di bawah angin lain lagi peraturannya para
pedagang dari sini tidak perlu membayar cukai atas barang dagangan yang
dibawahnya, mereka harus membawa persembahan untuk raja dan pegawai-pegawainya.
Dalam hal ini pajak yang harus dihitung menurut penjualan seluruh kapal dan
dilunasi dalam bentuk emas. Tetapi agaknya kemudian kapal dari sebelah bawah
angin ini harus membayar bea cukai sebesar 5% juga, kecuali kapal-kapal yang
membawa bahan pangan. Atas semua barang makanan.
Studi Denys Lombard mengenai Aceh dan jaman Iskandar Muda juga
member keterangan tentang system pemungutan pajak disini. Walaupun kita tidak
mengetahui dengan tepat pada waktu peraturan-peraturan mulai diberlakukan, ada
beberapa jenis pajak yang disebutkan dalam adat Aceh, yakni :
1.
Adat Cap atau Adat Lapik Cap, dibayar dalam bentuk
barang atau dengan uang untuk memperoleh “Cap” yaitu izin raja untuk
berlayar.
2.
Adat Kain, Kain Segulung (Sekayu) yang harus diberi dari oleh pedagang-pedagang India dan Eropa
pada pada saat mereka mendapatkan adat cap.
3.
Adat Kain Yang dalam, yaitu kain yang diberikan untuk istana
4.
Adat memohon kunci, untuk dapat menurunkan barang-barang
dari dealam kapal sesudah pajak-pajak lainnya dilunasi
5.
Adat Pengawal, untuk orang-orang tua-tua bangsa Aceh yang naik ke
kapal untuk menjaganya selama kapal
berlabuh
6.
Adat hak ul -kalam, yakni semacam bea registrasi.
Selain kewajiban-kewajiban tersebut
ini pedagang harus membayar 10% untuk
Sultan, yang menurut naskah Bustanus Salatin baru dimulai pada Zaman Sultan
Iskandar Muda.[11]
Sumber-sumber Belanda dari abad ke 17 menyebut Jambi sebagai pusat perdagangan
ekspor lada di pantai Timur Sumatera. Untuk memasukan bahan sandang, Jambi
tidak memungut bea Impor, tetapi untuk mengekspor lada dipungut 10%.
Dari bea Ekspor yang agak tinggi ini
sebagian adalah untuk raja-raja dan raja muda. Masing-masing menerima 10% dari
bea ekspor lada ini dengan ketentuan bahwa raja tua menerima 105 dari pungutan
pedagang Belanda, Inggris dan China, sedangkan raja muda mendapat pungutan
terhadappedagang Jawa dan Melayu. Bagian terbesar (90%) adalah bagian orang
kaya.
3.
Pengaruh Perdagangan Untuk Indonesia
Di Benua Asia terdapat dua negeri besar yang tingkat peradabannya
dianggap sudah tinggi, yaitu lalu lintas perdagangan dan pelayaran berlangsung
melalui jalan darat dan laut. Salah satu jalur lalu lintas yang dilewati
India-China adalah selat Malaka. Indonesia yang terletak dijalur posisi silang
dua benua dan samudera, serta berada didekat selat Malaka memiliki keuntungan,
yaitu
1.
Sering dikunjungi bangsa-bangsa asing, seperti India, China,Arab
dan Persia.
2.
Kesempatan melakukan hubungan Internasional terbuka lebar
3.
Pergaulan dengan bangsa-bangsa lain semakin luas dan
4.
Pengaruh asing masuk ke Indonesia seperti Hindu dan Budha.
Keterlibatan bangsa Indonesia dalam
kegiatan perdagangan dan pelayaran Internasional menyebabkan timbulnya
percampuran budaya. India merupakan Negara pertama yang memberikan pengaruh
kepada Indonesia, yaitu dalam bentuk budaya agama Hindu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sejak jaman Prasejarah, Penduduk
Indonesia adalah pelayar-pelayar yang sanggup mengaringi lautan lepas. Lautan
disekitar dan diantara pulau-pulau Indonesia tidak pernah menjadi penghalang.
Bahkan menjadi pemersatu, hubungan dengan daerah pedalaman lebih sulit dari
pada hubungan antar pulau. Pada awal sejarah kuno Indonesia kita melihat
tumbuhnya pusat-pusat perdagangan dibeberapa tempat dipesisir Jawa dan
Sumatera.
Suatu hal yang penting dalam
hubungan dagang antara Indonesia dan China ialah adanya hubungan pelayaran
langsung antara kedua tempat tersebut, Hubungan pelayaran itu merupakan bagian
dari hubungan pelayaran antara Asia Barat denngan China, tetapi juga merupakan
hubungan tersendiri antara Indonesia dan China.
Keberhasilan bangsa Indonesia untuk
memasuki pasaran perdagangan luar negeri China adalah suatu tonggak sejarah
bagi bangsa Indonesia. Hal itu merupakan suatu tahap nyata dalam perkembangan
masyarakat Indonesia yang telah dimulai saat bangsa Indonesia berhubungan
dagang dengan orang India.
Setelah bangsa Indonesia berdagang
langsung dengan China, maka ia mendapatkan kedudukannya sendiri dala
perdagangan Internasional. Kapal Indonesia melayari jalur pelayaran dari India
sampai ke China. Pada abad ke VII M. I-tsing seorang pendeta Budha dari China
bertolak ke India dari Indonesia dengan menumpang kapal Sriwijaya.
Keterlibatan bangsa Indonesia dalam
kegiatan perdagangan dan pelayaran Internasional menyebabkan timbulnya percampuran
budaya. India merupakan Negara pertama yang memberikan pengaruh kepada
Indonesia, yaitu dalam bentuk budaya agama Hindu.
DAFTAR PUSTAKA
-
Djenen, dkk. Geografi Indonesia. Jakarta : Kinta Jakarta, 1982
-
Poesponegoro, Marwati Djuned, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia
II, Jakarta : Balai Pustaka, 1993.
-
Poesponegoro, Marwati Djuned, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia
III, Jakarta : Balai Pustaka, 1993.
-
Intenet. http//search sejarah Indonesia Nusantara.com
[1] Menurut Wheatly,1961, Hippalos mungkin seorang tokoh Mitologi.
[2] J.C van Leur, op. cit., hal. 66-67, memberikan keterangan
mengenai inti bentuk perdagangan jaman kuno Asia.
[3] O. W. Wolters, op. cit., hal. 65-66
[4] Ibid., hal. 35.
[5] Meilink-Roelofsz, op. cit,. hal. 251
[6] Roufaer dan Ijzerman, op. cit,. hal. 120
[7][7] Tobing, op. cit., hal.52
[8] Ibid, hal : 134-135
[9] Ibid., hal. 136
[10] Cortesao, op. cit., hal. 237
[11] Lombard, op., cit., hal. 103
0 Response to "Makalah Hubungan Perdagangan Indonesia dengan Luar"
Posting Komentar