Dalam bahasa Indonesia,
perkawinan bersal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk
keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.[1]
Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal
dari kata nikah ( حاكن ) yang menurut bahasa artinya
mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).[2] Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti
persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.[3]
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya adalah:
![]() |
Artinya : Perkawinan
menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan
bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan
bersenang-senangnya perempuan dan laki-laki.
1.
Dasar-dasar
Hukum Perkawinan.
Tentang melakukan perkawinan, Ibnu Rusyd[5] menjelaskan:
Segolongan fuqaha, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa
nikah itu hukumnya sunnat. Golongan
Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib.
Para ulama Malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk
sebagian lainnya dan mubah
untuk segolongan yang lain.[6]
Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran
(kesusahan) dirinya. Perbedaan pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan adanya
penafsiran apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits-hadits yang
berkenaan dengan masalah ini, harus diartikan wajib, sunnat ataukah mungkin
mubah? Ayat tersebut adalah:

÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? ’Îû 4‘uK»tGu‹ø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/â‘ur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9ω÷ès? ¸oy‰Ïnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #’oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès?
ÇÌÈ
Artinya : Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An
Nisaa' ayat 3)[7]
Al-Jaziry
mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum
nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnat (mandub) dan
adakalanya mubah.
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum
asal nikah adalah mubah, di samping ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh.
Di Indonesia, umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan
perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama Syafi’iyah.[8]
Namun demikian, kalau dilihat dari segi
kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan
perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, makruh ataupun
mubah.
a. Melakukan
perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya
tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib.
b. Orang
yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan,
tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum
melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah.
c. Bagi
orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta
tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban- kewajiban dalam rumah tangga
sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan
istrinya, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.
d. Melakukan
perkawinan hukumnya makruh bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga
tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin.
Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi
kewajiban suami isteri dengan baik.
e. Menikah
di mubahkan bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya,
tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila
melakukannya juga tidak akan menelantarkan isteri. Hukum mubah ini juga
ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk kawin itu
sama, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai
kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.[9]
[1]
Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),
Cet. III edisi 2, hal. 456
[5] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah
al-Muqtashid, (Beirut:
Da al-Fikr, t. th), jilidII, hal. 2
[7]
QS. An
Nisaa’/4: 3.
[8] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta:
Prenada Media Group, 2006), edisi I, Cet II, hal. 18
0 Response to "Pengertian Perkawinan dan Dasar Hukumnya "
Posting Komentar