Maqashid
syari’ah sebagai sebuah kajian dalam ilmu keislaman sebenarnya sudah ada
sejak nash Al Qur’an diturunkan dan hadits disabdakan oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Karena maqashid syari’ah pada dasarnya
tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti
yang tercermin dalam ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”,
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan syariat-Nya tidak lain
adalah untuk kemaslahatan makhluk-Nya.
Menurut Raisuni;
barangkali orang yang paling awal menggunakan kata maqashid dalam judul
karangannya adalah Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam
bukunya Al-Shalatu wa Maqashiduha. Tapi jika kita menelusuri
karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid syari’ah, maka kita akan
menemukannya jauh sebelum Al-Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H)
dalam Muwattha’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus
penggunaan maqashid pada masa sahabat.
Kemudian
setelah, itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam karyanya yang sangat
populer Al-Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai
ta’lil al-ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid
kulliyyah seperti hifzhu al-nafs dan hifzhu al-mal, yang merupakan
cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid. Setelah Imam Syafi’i, muncul
Al-Hakim Al-Tirmidzi, disusul Abu Bakar Muhammad Al-Qaffal Al- Kabir (w.
365H) dalam kitabnya Mahasinu Al-Syariah, yang mencoba membahas alasan-alasan
dan hikmah hukum supaya lebih mudah dipahami dan diterima oleh
manusia.
Kemudian datang
setelahnya Al-Syaikh Al-Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu
Al-Syarai’ wa Al-Ahkam, yang mengumpulkan riwayatriwayat tentang
ta’lilu al-ahkam dari ulama-ulama Syi’ah, dan Al-‘Amiri (w. 381H) dalam
kitabnya Al-I’lam bi Manaqibi Al-Islam, meskipun kitab ini membahas
tentang perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dharuriyyat
Al-Khams (lima hal pokok yang dijaga dalam agama, yaitu; menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid
syari’ah.
Setelah itu
datang Imam Al-Haramain (w. 478H) dalam kitabnya Al- Burhan yang menyinggung
tentang dharuriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema pokok
dalam Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Al- Ghazali (w. 505 H) yang
membahas beberapa metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan
cara untuk menjaga maqashid syari’ah dari dua sisi al-wujud (yang
mengokohkan eksistensinya) dan al-‘adam ( menjaga halhal yang bisa
merusak maupun menggagalkannya).
Kemudian Imam Al-Razi (w. 606H), lalu Imam Al-Amidi (w. 631 H), dan
‘Izzuddin bin ‘Abd Al-Salam (w. 660 H), kemudian Al-Qarafi (w. 684 H), Al-Thufi
(w. 716 H), Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah (w. 751 H),
baru setelah itu disusul oleh Imam Al-Syatibi. Dari sini kita bisa menyimpulkan
bahwa dalam ilmu maqashid syari’ah, Imam Al- Syatibi melanjutkan apa yang telah
dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh Imam
Al-Syatibi bisa menarik perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan
persoalan-persoalan yang tercecer dan dibahas sepotong-sepotong oleh
orang-orang sebelumnya menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya
Al-Muwafaqat dimana ia mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini satu juz
(yaitu juz dua) dari empat juz isi kitabnya. Ia juga mengembangkan dan
memperluas apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid
ini, juga menyusunnya secara urut dan sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang
berdiri sendiri, sehingga lebih mudah untuk dipelajari.
Hal inilah yang menjadi kontribusi signifikan Imam Al-Syatibi dalam ilmu
maqashid syari’ah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak
tentang pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk
membahas maqashid syari’ah ini lebih jauh, hingga Ibnu ‘Asyur (w. 1393 H) pada
akhirnya mempromosikan maqashid syari’ah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang
berdiri sendiri.
Berdasarkan
pelacakan historis, dapat diketahui bahwa perumus pertama konsep maqashid
syari’ah adalah Abu Mansur Al-Maturidi. Sedangkan
perumus komposisi dan stratifikasi maqashid syari’ah pertama kali disampaikan
oleh Imam Al-Haramain Al-Juwaini sebagaimana yang termaksud dalam kitabnya,
Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh. Beliau sendiri tidak menyebutnya
sebagai maqashid syari’ah, tetapi lebih pada kajian analisis ‘illat-‘illat
hukum. Memasuki periode Ibnu Taimiyyah, nampaknya konsep maqashid
syari’ah masih belum merupakan konsep yang sistemik walau telah mempertegas
bahwa kemaslahatan menjadi tujuan akhir suatu hukum. Oleh karena itu,
konsep atau teori maqashid syari’ah secara sistemik, adalah apa yang
dikemukakan oleh Imam Al-Syathibi dalam karya monumentalnya, Al- Muwafaqat fi
Ushul Al-Syari’ah.
0 Response to "Sejarah dan Perkembangan Maqashid Syari’ah"
Posting Komentar