Pengertian Shiqaq

Kata shiqāq berasal dari bahasa Arab “shiqāqa” yang berarti sisi; perselisihan; (al-Khilaf); perpecahan; permusuhan; (al-Adawah); pertentangan atau persengketaan.[1] Dalam bahasa Melayu diterjemahkan dengan perkelahian.
Sayuti Thalib mengartikan shiqāq dengan keretakan yang sangat hebat antara suami istri.[2] Menurut istilah fiqh ialah perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang ḥakam, yaitu seorang ḥakam dari pihak suami dan seorang ḥakam dari pihak istri.[3] Maksudnya, apabila terjadi perselisihan yang sudah jauh di antara suami istri, maka hendaknya didatangkan pihak ketiga yang bertindak sebagai ḥakam (arbiter), dari keluarga suami dan dari keluarga istri.[4] Definisi di atas, shiqāq juga dapat diartikan secara terminologis, yakni keadaan perselisihan yang terus-menerus antara suami istri yang dikhawatirkan akan menimbulkan kehancuran rumah tangga atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, diangkatlah dua orang penjuru pendamai (ḥakam) untuk menyelesaikan perselisihan. Definisi shiqāq menurut fuqaḥa’ ialah perselisihan antara suami istri yang dikhawatirkan akan memutus hubungan perkawinan untuk menyelesaikan maka diangkatlah ḥakamain.

Sedangkan secara terminologis menurut  Wahbah Zuhaily shiqāq adalah
     [5] الْكَرَامَةِ فِي الطَّعْنِ بِسَبَبِ الشَّدِيْدُ النِّزَاعُ هُوَالشُّقَاقُ
Artinya: “Shiqāq adalah perselisihan yang tajam dengan sebab mencemarkan kehormatan”.
Beliau juga mengemukakan shiqāq sebagai perceraian karena ḍarar (bahaya). Bentuk-bentuk ḍarar yang dilakukan oleh suami kepada istrinya bisa berbentuk perkataan maupun perbuatan, seperti mencaci dengan kata-kata kotor, mencela kehormatan, memukul dengan melukai, menganjurkan atas perbuatan yang diharamkan Allah Swt, suami berpaling, berpisah ranjang tanpa ada sebab yang membolehkannya.
Menurut Imam Malik dan Ahmad kalau istri mendapat perlakuan kasar dari suaminya, maka ia dapat mengajukan gugatan perceraian ke hadapan hakim agar perkawinannya diputus karena perceraian yang disebut dengan khulu’.[6]
Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan permasalahan shiqāq dengan cukup lugas. al-Shiqāq berarti perselisihan yang berpotensi membuat dua pihak berpisah, dan ketakutan masing-masing pihak akan terjadinya perpisahan itu dengan lahirnya sebab-sebab perselisihan. Shiqāq atau pertikaian di antara mereka kadang-kadang disebabkan oleh nusyuznya istri, kadang-kadang pula oleh kezaliman suami. Jika hal pertama yang terjadi, maka hendaknya suami mengatasinya dengan cara yang paling ringan di antara cara-cara yang disebutkan di dalam surat an-Nisa’ ayat 35. Tetapi jika hal kedua yang terjadi, dan dikhawatirkan suami akan terus-menerus berlaku zalim atau sulit menghilangkan nusyuznya, selanjutnya dikhawatirkan akan terjadi perpecahan, maka kedua suami istri dan kaum kerabat wajib mengutus dua orang ḥakam yang bermaksud memperbaiki hubungan antara mereka. Dalam ayat tersebut juga diisyaratkan bahwa dua orang ḥakam mengetahui masalah privat pasangan suami istri, karena dekatnya hubungan dengan mereka, sehingga dapat ikut membantu penyelesaian masalah.[7]
Menurut Rahman dalam bukunya perkawinan dalam syariat Islam (1996: 85). Shiqāq adalah putusnya ikatan perkawinan. Hal tersebut mungkin timbul disebabkan oleh perilaku dari salah satu pihak. Bila salah satu pihak dari pasangan suami istri itu bersifat buruk, atau salah satunya bersikap kejam kepada yang lainnya, atau seperti yang kadang kala terjadi, mereka tak dapat hidup rukun dalam satu keluarga. Maka dalam kasus ini shiqāq lebih mungkin terjadi, namun ia tetap akan tergantung pada kedua belah pihak, apakah mereka akan memutuskannya ataukah tidak. Perceraian akan selalu terjadi bila salah satu pihak merasa mustahil untuk mempertahankan ikatan perkawinan itu dan terpaksa memutuskannya.
Berbicara masalah shiqāq tak lepas dari yang namanya ḥakamain (juru damai). Menurut bahasa ḥakamain berarti dua orang ḥakam yaitu seorang ḥakam dari pihak suami dan seorang ḥakam dari pihak istri untuk menyelesaikan kasus shiqāq.
Terhadap kasus shiqāq ini, ḥakam bertugas menyelidiki dan mencari hakekat permasalahannya, sebab-sebab timbulnya persengketaan, dan berusaha sebesar mungkin untuk mendamaikan kembali. Agar suami istri kembali hidup bersama dengan sebaik-baiknya, kemudian jika dalam perdamian itu tidak mungki ditempuh, maka kedua ḥakam berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya, kemudian atas dasar prakarsa ḥakam ini maka hakim dengan keputusannya menetapkan perceraian tersebut.[8] Ḥakamain (kedua ḥakam) itu boleh memutuskan perpisahan antara suami istri, tanpa suami menjatuhkan talak.[9]
Dari penjelasan ulama di atas shiqāq dapat dipahami sebagai peristiwa cekcok suami istri yang sudah mencapai batas klimaks, sehingga perkawinan mereka diambang kehancuran tak ada harapan untuk dipersatukan kembali setelah melalui usaha perdamaian yang dilakukan oleh Pengadilan ternyata tidak berhasil, maka jalan terakhir untuk menghilangkan mudharat adalah dengan perceraian



                [1] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam………, hal. 318
                [2] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 95
                [3] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam……….., hal. 188
                [4] Fatkhurrahman Djamil, Arbitrase dalam “Perspektif Sejarah Islam” dalam Arbitrase Islam di Indonesia ,(Jakarta: BAMUI-BMI, 1994), hal. 35
                [5] Wahbah Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islāmi Wa Adillatuhu………….., hal. 7060
                [6] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II………., hal. 248
                [7] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz V, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1394 H/1974 M), hal. 47
                [8] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 241
                [9] Sidi Gazalba, Menghadapi Soal-soal Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Antara Jakarta, 1974), hal. 102

Related Posts :

0 Response to "Pengertian Shiqaq"

Posting Komentar