Positivisasi Hukum Islam di Indonesia

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa saat ini terdapat upaya positivisasi Hukum Islam kedalam hukum nasional. Para pakar sering menyebutnya dengan teori eksistensi yang dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia. Adapun hukum nasional Indonesia adalah hukum nasional yang bersumber pada falsafah negara, pancasila.[1]
Upaya positivisasi itu sendiri sesungguhnya telah berlangsung lama, dengan keluarnya UU Agraria tahun 1960, UU No 1 Tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan, kemudian meningkat menjadi hukum Islam sebagai sumber hukum nasional dalam UU No 7 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Inpres No1 tahun 1991 tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam, UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf, UU Zakat, UU haji dan yang terakhir UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU NO 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) yang memebrikan perluasan kompetensi Materil bagi PA, termasuk dalam ekonomi Syari’ah.[2]
Ketika berbicara tentang hukum, sesunggunya hal tersebut tidak akan jauh dari kisaran politik. Keterlibatan umat Islam dikancah politik turut menetukan karakter produk hukum yang dihasilkan. Karakter produk hukum identik dengan sifat dan watak sutu produk hukum.[3]
Hukum bukanlah sebuah lembaga yang sama sekali otonom, namun berada pada kedudukan yang saling terkait dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat. Salah satu segi dari keadaan yang demikian itu adalah bahwa hukum harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, hukum merupakan dinamika. Politik hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian, oleh karena itu ia diarahkan kepada iure constituendo (ius constitutum) hukum yang seharusnya berlaku.[4] Perjuangan para founding father naionalis islami untuk memasukan nilai-nilai Islami kedalam konstitusi Indonesia telah dilakukan dengan seksama. Lahirnya Piagam Jakarta yang memasukan tujuh kata dalam pancasila telah memulai usaha tersebut walau akhirnya perjuangan memasukan tujuh kata dalam panacasila tersebut urung direalisasikan dengan alasan demi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal tersebut tidak menjadi halangan untuk tetap memperjuangkan nilai-nilai islami dalam setiap konstitusi Indonesia. Menurut Profesor Soepomo Indonesia tidaklah harus menjadi negara Islam, tetapi menjadi negara yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan oleh agama Islam.[5] Nampaknya pandangan ini cukup relevan dengan keadaan saat ini. Tentu saja untuk memperjuangkan konstitusi yang dilandasi dasar moral islam harus didorong oleh kinerja umat Islam sendiri dalam setiap kebijakan. Baik bagi mereka yang duduk di Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif. Tanpa peran umat islam dalam lembaga-lembaga tersebut mustahil nilai-nilai moral islam dapat terhujamkan pada konstitusi Indoensia.
Seringkali kepentingan politik menghambat program legislasi hukum islam. Walau demikian, masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam telah menjadikan islam sebagai way of life dalam kehidupan sehari-hari walau tentu saja hanya sebatas personal dan dalam hal-hal terbatas.
Dengan demikian, ada atau tidaknya obsesi politik Islam dalam berbagai rumusan hukum secara organik dari norma fundamental dan aktivitas konstitusional dalam perjalanan sejarah bangsa tidak berpengaruh sedikitpun pada keberadaan hukum Islam. Rekatnya tutup peluang pada tiap wadah sosial politik tidak mampu menahan rembesan hukum islam.10 Umat Islampun harus mempunyai metodologi dan strategi yang tepat untuk postivisasi hukum islam di Indonesia. Karena pandangan para pemegang kebijakan berbeda-beda termasuk diakalangan umat islam itu sendiri. Sehingga tarik menarik kepentingan antara berbagai kepntingan politik yang ada, termasuk dengan negara atau eksponen agama lain akan semakin ketat.
Menurut Syamsul Anwar sebagaimana yang dikutip oleh M. Rusydi, setidaknya ada dua tahapan untuk proses positivisasi hukum islam ini yaitu Tahapan hermeuneutis dan tahapan politis. Pada tahapan ini perlu adanya klasifikasi hukum syari’at sehingga dengan adanya klasifikasi tersebut dapat dihasilkan sebuah format hukum yang telah dikompromikan dengan konteks ruang, waktu, situasi, serta kondisi masyarakat Indonesia. Oleh karenanya, terminologi-terminologi yang dikemukakan sudah menjadi sebuah bahasa universal yang akan mudah diterima semua kalangan.
Tahapan politis dilakukan oleh badan legislatif, wakil-wakil rakyat terutama yang mengusung nilai-nilai islam dapat mendialogkan nilai-nilai islam tesebut dengan berbagai kalangan legislator. Sehingga kejelian dan lobiying yang mumpuni dari para legislatior “islam” sangat menentukan.
Terkait dengan ekonomi Islam yang sudah merebak di tanah air ini. Tentunya banyak yang mengharapan seperangkat peraturan yang pasti tentang hal tersebut. Lewat upaya kompromi politik dan kesungguhan dari berbagai pihak sedikit demi sedikit regulasi-regulasi tentang ekonomi syari’ah sudah mulai digulirkan termasuk keberadaan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.




[1] Ichtijanto, “Perkembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”, dalam Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1991), hlm 137 7 Marzuki Wahid, Fiqh Mazhab Negara: Kritik AtasPolitik Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm 33
[2] Abdul Mughits, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, hlm 146
[3] Marzuki Wahid, Fiqh Mazhab Negara: Kritik AtasPolitik Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm 33
[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya bakti, 1996), hlm 352 9 Endang saifudin Anshari, “Perjuangan Konstituional Para Nasionalis islami Dalam Bidang Konstitusi”, Dalam Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1991),hlm 59
[5] Endang saifudin Anshari, “Perjuangan Konstituional Para Nasionalis islami Dalam Bidang Konstitusi”, Dalam Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1991),hlm 59

Related Posts :

0 Response to "Positivisasi Hukum Islam di Indonesia"

Posting Komentar