Pengertian Ḥakam

Jika dikaitkan dengan kasus shiqāq dapat dipahami ḥakam adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga tersebut.[1]
Menurut penjelasan pasal 76 ayat (2) Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama bahwa ḥakam diartikan sebagai “Orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan shiqāq”. Para pakar memberi sinonim arbitrator, sebagai kata yang sepadan dengan ḥakam[2] sebagaimana ulama syiah Murtadla Mutahhari mengemukakan kata padanan ḥakam dengan arbiter[3] di Malaysia disebut dengan penimbangtara dengan demikian ḥakam sebagai “mahkamah” keluarga.[4]
Dalam kajian fiqh terdapat kesamaan pendapat bahwa ḥakam sama dengan arbitrator (arbiter). Dasar persamaannya bentuk tolak dari ciri dan kewenangannya.
Ciri yang sama pada:
a.       Penyelesaian sengketa secara volunter
b.      Diluar jalur Peradilan yang resmi
c.       Untuk itu masing-masing pihak menunjukkan salah seorang ḥakam arbiter yang mereka anggap layak, jujur dan independen.
Kewengan sama:
a.       Bertindak sebagai mahkamah arbitrase (arbitral tribunal)
b.      Sejak ditunjuk tidak dapat ditarik kembali
c.       Berwenang penuh menyelesaikan sengketa dengan cara: menjatuhkan putusan dan sifat putusan final dan binding=langsung final dan mengikat.[5]




                [1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Krapyak, 1984), hal. 309
                [2] Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, terjemahan Hamid Ahmad, Cet. 1, (Jakarta: P3M, 1987), hal. 265; Robert N. Hornick dan Sudargo Gautama; Abdullah Alwi Haji Hassan, The Administration of Islamic Law in Kelantan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa    dan Pustaka, 1996), hal. 366
                [3] Murtadla Mutahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, terjemah M. Hashem, Cet. III,(Jakarta: Lentera,        1995), hal. 187
                [4] Murtadla Mutahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam………, hal. 187
                [5] M. Yahya Harahap, “Tempat  Arbitrase Islam Dalam Hukum Nasional”, dalam Arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta: BAMUI-BMI, 1994), hal. 108-109

Related Posts :

0 Response to "Pengertian Ḥakam"

Posting Komentar