Kata Pengantar Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah serta Inayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini yang membahas tentang Kepailitan dan
dapat diselesaikan dengan tepat tanpa mengalami hambatan yang berarti. Semoga
dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi kami selaku penulis dan
bagi para pembaca semuanya.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu demi penyempurnaan tulisan ini, kami
mengharapkan masukan dan saran yang bersifat membangun.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat
bagi pihak-pihak yang berkompeten. Amin.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
makalah ini peyeusun akan membahas dan menguraikan sebagaimana dalam rumusan
masalah. Baikalah untuk lebih jelasnya akan dibahas berikut ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
itu Kepailitan?
2. Bagaimana
persyaratan untuk dinyatakan Pailit?
3. Pihak-pihak
yang dapat mengajukan Permohonan Kepailitan?
C. Rumusan Tujuan
1. Menjelaskan
tentang kepailitan
2. Menjelaskan
persyaratan untuk dinyatakan Pailit
3. Menjelaskan
Pihak-pihak yang dapat mengajukan Permohonan Kepailitan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan
Pengaturan Kepailitan
Definisi
kepailitan secara yuridis terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yaitu:
“Kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini”.
Dalam
tata Bahasa Indonesia, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan
pailit.[1]
Kepailitan adalah eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang
berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang
yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang
diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur yang
dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib. Menurut Kartono kepailitan
adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang yang
berutang) untuk kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang-orang yang
berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu debitur dinyatakan pailit mempunyai
piutang dan untuk jumlah utang yang masing-masing kreditur miliki saat itu.[2]
Menurut
Siti Soemantri Hartono dalam bukunya Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran, Kepailitan adalah suatu lembaga dalam Hukum Perdata Eropa, sebagai realisasi
dari dua asas pokok dalam Hukum Perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131
dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.[3]
B. Persyaratan
untuk dinyatakan Pailit
Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 menyebutkan syarat kepailitan
adalah sebagai berikut:
a.
Syarat paling
sedikit harus ada 2 (dua) Kreditur
Menurut Pasal. 2 ayat
(1) Undang-Undang Kepailitan, salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah
debitur harus mempunyai dua kreditur atau lebih. Undang-undang ini hanya
memungkinkan seorang debitur
dinyatakan pailit
apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditur. Syarat mengenai adanya
minimal dua atau lebih kreditur dikenal sebagai concursus creditorium.[4]
Persyaratan
pertama yang mensyaratkan debitur harus mempunyai lebih dari seorang kreditur
ini selaras dengan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata yang menentukan pembagian
secara teratur semua harta pailit kepada para krediturnya, yang dilakukan
berdasarkan prinsip pari passu proprate parte. Adapun dalam hal ini yang
dipersyaratkan bukan berapa besar piutang yang mesti ditagih oleh seorang
kreditur dari debitur yang bersangkutan, melainkan berapa banyak orang yang
menjadi kreditur dan debitur yang bersangkutan dan berapa banyak orang yang
menjadi kreditur dari debitur yang bersangkutan. Bahwa disyaratkan debitur
minimal yang mempunyai utang kepada dua orang kreditur.[5]
b. Syarat adanya Utang
Pasal 1 angka 6
Undang-undang Kepailitan telah dirumuskan mengenai utang, yaitu:
“Kewajiban yang dinyatakan atau
dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata
uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau
kontijen, yang timbul karena perjanjian dari undang-undang dan yang wajib
dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk
mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur”.
Para
pihak yang mengajukan permohonan pailit harus dapat membuktikan bahwa debitur
mempunyai utang kepadanya. Para pihak yang dimaksud ialah (penasihat hukum) dari
kreditur, (penasihat hukum dari) debitur, dan Majelis Hakim yang memeriksa
permohonan itu, baik Majelis Hakim pengadilan niaga, Majelis Hakim kasasi,
maupun Majelis Hakim peninjauan kembali.[6]
Menurut
Volmar dan Zeylemaker, bahwa hakim-lah yang harus menentukan ada atau tidak
adanya keadaan berhenti membayar utang, ketika mereka tidak menjelaskan lebih
lanjut ukuran apa yang dipakai oleh hakim untuk menentukan kapan debitur berada
dalam keadaan berhenti membayar, dan oleh karena itu dapat dijatuhi putusan
pailit.[7]
c. Salah satu utang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih
Utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih telah dirumuskan dalam Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) yaitu kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu,
baik karena telah diperjanjikan, karena telah diperjanjikan, karena percepatan
waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau
denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter,
atau majelis arbitrase. Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat
ditagih menunjukan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut debitur
untuk memenuhi prestasinya.[8]
Pihak-pihak
yang dapat mengajukan Permohonan Kepailitan
Salah
satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon pailit,
yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke
pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut sebagai pihak penggugat.[9]
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 pihak-pihak dapat mengajukan
permohonan kepailitan adalah:
a.
Debitor itu
sendiri;
b.
Satu atau lebih
kreditor;
c.
Kejaksaan untuk
kepentingan umum;
d.
Bank Indonesia,
dalam hal debitornya adalah Bank;
e.
Bapepam, dalam
hal debitornya adalah Perusahaan Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
f.
Menteri
Keuangan, dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan
reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang
kepentingan publik.
[1]
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.83.
[2]
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Pradnya Paramita, Jakarta,
1973, hal.7.
[3]
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Penghantar Hukum Kepailitan di
Indonesia. Rineka Citra, Jakarta, 1993, hal.20.
[4]
Sutan Remy Sjahdeny, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002,
hal.64.
[5]
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka
Utama,
Jakarta, 2004. hal.15.
[6]
Sutan Remy Sjahdeny, OP.Cit, hal. 68.
[7]
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, OP.Cit, hal. 39.
[8]
13 Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.11.
[9]
Munir Fuadi, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, hal.35
0 Response to "Makalah Tentang Kepailitan "
Posting Komentar