Makalah Tentang Hiwalah



Kata Pengantar Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah serta Inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini yang membahas tentang Hiwalah dan dapat diselesaikan dengan tepat tanpa mengalami hambatan yang berarti. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi kami selaku penulis dan bagi para pembaca semuanya.
            Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu demi penyempurnaan tulisan ini, kami mengharapkan masukan dan saran yang bersifat membangun.
            Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkompeten. Amin.
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam makalah ini peyeusun akan membahas dan menguraikan sebagaimana dalam rumusan masalah. Baikalah untuk lebih jelasnya akan dibahas berikut ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hiwalah menurut tinjauan hukum islam?
C.    Rumusan Tujuan
1.      Menjelaskan tentang hiwalah dalam pandangan huku islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Hiwalah diambil dari kata tahwil yang berarti intiqal (perpindahan).[1] Menurut pengertian etimologi (bahasa) berarti memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Adapun menurut pengertian terminologi, yang dimaksud hiwalah adalah memindahkan hutang dari satu tanggungan kepada tanggungan yang lain dengan hutang yang sama.
Hiwalah memiliki beberapa macam. Mazhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian, yaitu:
1.      Hiwalah muqayyadah (pemindahan bersyarat), yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua. Dalam hiwalah muqayyadah tersebut mencakup: hiwalah al haq, yaitu pemindahan hak menuntut hutang serta hiwalah ad-dain, yaitu pemindahan kewajiban untuk membayar hutang.
2.      Hiwalah mutlaqa (pemindahan mutlak), yaitu pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua.
Adapun rukun hiwalah menurut mazhab Hanafi adalah adanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah dari pihak pertama, dan adanya qabul (pernyataan menerima hiwalah dari pihak kedua dan pihak ketiga. Sedangkan menurut jumhur selain Hanafiah, hiwalah memiliki enam rukun, yaitu:[2]
1.      Muhil (orang yang berhutang)
2.      Muhal disebut juga Muhtal dan hawil, yaitu pemilik hutang atau kreditur
3.      Muhil ‘alaih, debitur pada muhal
4.      Muhal bih, piutang muhal atas muhil
5.      Piutang muhil atas muhal ‘alaih
6.      Sigah
Hiwalah sah dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Para pihak yang terlibat dalam hiwalah itu cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh atau berakal.
2.      Adanya pernyataan persetujuan (kerelaan) dari muhil dan muhal.
3.      Hutang yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang pasti.
4.      Kedua piutang itu persis sama, baik jumlah maupun kualitasnya. Aplikasi hiwalah dalam perbankan Islam, antara lain:
1)      Factoring (anjak piutang), yaitu apabila para nasabah yang memiliki hutang pada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
2)      Post-date chek, yaitu bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
3)      Bill discounting. Secara prinsip serupa dengan hiwalah. Perbedaannya, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan dalam kontrak hiwalah tidak terdapat pembahasan tentang fee.
Dalam fiqih muamalah, dilihat dari maksud dan tujuannya, akad dibagi dalam dua bagian, yakni akad tabarru’ dan akad tijari. Akad hiwalah merupakan salah satu akad tabarru’, yakni jenis akad yang berkaitan dengan transaksi non profit atau transaksi yang tidak bertujuan untuk mendapatkan laba atau keuntungan. Dalam hal ini, dimaksud untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharap ridha dan pahala dari Allah. Dengan demikian, dalam akad hiwalah tidak dibolehkan adanya pengambilan fee.
Fee diartikan sebagai insentif atau bonus, yakni pembayaran yang diterima baik di depan atau di belakang dan atau di antara keduanya, atas jasa= tertentu yang diberikan sesuai dengan perjanjian atau kontrak.[3] Namun, saat ini setiap Lembaga Keuangan Syariah mengenakan fee atas akad-akad tabarru’ dengan alasan sebagai biaya administrasi, sedangkan akad tabarru’ semata-mata untuk tolong menolong tanpa mengharap apapun. Kemudian, mengenai sigah, Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 12/DSN-MUI/IV/2000, tentang hiwalah, poin kedua dalam Ketentuan Umum hiwalah menyebutkan bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
BMT BIF sebagai salah satu Lembaga Keuangan Syari’ah juga menyediakan produk hiwalah dalam produk pembiayaannya. BMT BIF menggunakan akad hiwalah, misalnya, jika anggota BMT membutuhkan pinjaman untuk biaya sekolah, Rumah Sakit, atau jika anggota mempunyai hutang di pihak lain yang harus segera dibayar. Namun, pelaksanaan akad hiwalah tesebut hanya dilakukan oleh dua belah pihak, yakni pihak BMT BIF Gedongkuning dan pihak anggota, sehingga praktek tersebut hampir sama dengan akad al-Qard. BMT BIF Gedongkuning juga mengenakan fee. Fee tersebut sesuai dengan kesepakatan antara pihak BMT dan anggota, setelah diadakan survei. Misalnya, plafon / jumlah pinjaman minimal 1 juta rupiah, fee sebesar dua puluh lima ribu rupiah.
Tulisan ini diambil dari skripsinya Siti Fatimah yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Hiwalah di BMT Bina Ihsanul Fikri (BIF) Gedung Kuning Yogyakarta. Semoga apa yang di tulis beliau menjadi kontribusi bagi dunia keilmuan keislaman.



[1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: t.p., 1984), hlm. 311.
[2] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, V:165.
[3] Tim Penulis DSN MUI, Himpunan Fatwa DSN MUI, edisi II, diterbitkan atas kerjasama MUI, KARIM Business Consulting, dan Bank Indonesia: 2003, hlm. 306.

Related Posts :

0 Response to "Makalah Tentang Hiwalah"

Posting Komentar